Sebastien Lefebvre
Taylor Swift
Brendon Urie
David Desrosiers, Chuck Comeau, Stuey.
_that’s him. Someone from our past_
Jam tangan Seb menunjukkan pukul 21.45 waktu setempat, 15
menit sebelum bertemu dengan Taylor. Tapi Seb sudah dalam perjalanan menuju
Radnor Lake State Park, tempat yang sudah mereka tentukan untuk bertemu. Radnor
Lake State Park, tempat umum yang benar – benar terbuka. Memang bukan tempat
bertemu yang ideal jika ingin menghindar dari paparazzi. Tapi Seb berpikir,
akan lebih mencurigakan jika Tay dan Seb bertemu di tempat tertutup. Mereka
hanya ingin mengobrol, bukankah taman akan menjadi tempat yang sangat bagus?
Seb memperhatikan
anjing pitbull kecil disampingnya yang berlari dengan semangat. Tentu saja,
Stuey sangat menikmati saat berjalan – jalan. “Stuey, kenapa kau semangat
sekali?” tanya Seb pada Stuey yang hanya menyalak sekali dan mempercepat
larinya. “Pelan – pelan, buddy.
Bukankah aku yang seharusnya bersemangat? Oh yeah, aku memang bersemangat,”
lanjutnya sambil mengejar anjing itu.
Ini pertama kalinya Seb keluar untuk menemui seseorang
dengan perasaan was – was. Alasannya satu, paparazzi. Ya, katakanlah Seb tak
biasa menjadi incaran paparazzi. Selama ini yang lebih sering menjadi incaran
di bandnya adalah sang vokalis, Pierre. Bukan berarti Seb tidak terkenal, namun
selama ini ia hanya berurusan dengan wartawan, bukan paparazzi.
Radnor Lake mulai terlihat. Mata birunya menyusuri danau,
kemudian ia menangkap sesosok yang dikenalnya. Gadis dengan rambut pirang
dikepang menyamping, mengenakan summer dress merah dipadu dengan cardigan
hitam. Gadis itu tampak sibuk bermain sendiri, melompat – lompat bagai anak
kecil. Kata pertama yang muncul di kepala Seb adalah... Tidak ada. Seb
kehilangan akalnya selama beberapa detik ketika melihat sosok ini.
“Taylor, maafkan aku terlambat,” ucap Seb sambil terengah
– engah karena berlari.
Gadis itu menoleh. “Hai, Seb. Terlambat? Kau bicara apa?
Kau datang 10 menit lebih awal,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Apa kau Stuey?”
tanyanya sambil memandangi anjing yang duduk manis disebelah kaki Seb. Taylor
segera membelai lembut Stuey. Anjing itu tentu saja menyambut belaian Tay
dengan gembira dan menggoyangkan ekornya karena senang. “Dia lucu sekali,”
lanjutnya.
“Biasanya dia tidak begini. Stuey akan menyalak jika
bertemu orang baru. Kurasa Stuey menyukaimu,” jelas Seb. “Mm, apa kau sudah
lama menunggu?”
“Tidak. Aku baru datang. Aku suka sekali taman ini, jadi
aku datang lebih awal. Apalagi danaunya di malam hari,” jawab Taylor. Seb bisa
melihat dengan jelas mata berbinar Taylor saat melihat danau. Dan Seb mengerti
betul kenapa Taylor menyukai danau di malam hari. Pantulan bulan dan lampu –
lampu disekitar membuatnya menjadi sangat indah.
Seb mengangguk – angguk menikmati keindahan danau. “Ya,
memang sangat indah,” kata Seb pelan, lebih pada dirinya sendiri.
“Jadi, bagaimana perjalananmu di Nashville? Tempat apa
saja yang sudah kau kunjungi?” Taylor membiarkan Stuey berlarian disekitarnya
dan kemudian duduk di bangku taman.
Seb mengikuti Taylor dan duduk disebelahnya. “Lane Motor
Museum, RCA Studio B, dan The Hermitage. David senang sekali mengunjungi Lane
Motor Museum. Dia bilang ia melihat mobil pertama kakeknya disana.” Taylor
tertawa. “Dan Chuck, ia tak bisa menutup mulutnya saat mengunjungi The
Hermitage.”
“Teman – temanmu lucu sekali,” komentar Taylor.
“Ya, kau harus menemui mereka nanti. Bahkan mereka
mengerjaiku soal foto... Oh, maksudku... Tidak, lupakan,” Seb buru – buru
memperbaiki perkataannya. Ia tak bermaksud untuk membahas foto mereka yang
beredar. Seb takut Taylor sedang tidak ingin membicarakan hal ini.
“Mereka tahu soal foto kita? Apa komentar mereka?” tanya
Taylor. Taylor tampak santai membicarakan ini.
“Awalnya mereka mengira ini sungguhan. Kau dan aku. Ya,
kau tahu, berpacaran. Mereka menanyaiku apa yang sebenarnya terjadi. Kukira
mereka semua marah padaku, tapi ternyata tidak. Aku jarang sekali dekat dengan
seorang wanita, maksudku teman. Jadi, mereka curiga saat foto itu beredar.
Bukan berarti aku tidak pernah punya pacar, maksudku bukan kau pacarku. Oh,
astaga sebaiknya aku diam...” Seb memukul dahinya dengan telapak tangannya
karena bicara bodoh dan Taylor tak bisa menahan tawanya.
“Kau tahu, teman – temanku juga menginterogasiku soal hal
ini. Mereka memberiku selamat lalu menanyakan sejak kapan aku berpacaran
denganmu. Bahkan orang tuaku langsung mencari datamu di internet,” ceritanya
sambil tertawa kecil. “Maafkan aku, Seb.”
“Hei, sudah kubilang ini bukan salahmu. Bukan salah siapa
– siapa.” Seb memberikan isyarat pada Stuey agar tidak bermain jauh – jauh. “Aku
memang tak pernah berurusan dengan paparazzi. Tapi, aku menyadari, entertainer
tak akan lepas dari hal semacam ini. Jadi yeah... Tak apa.”
Taylor mengangguk. “Dulu, seseorang yang baru kukenal.
Seperti kau. Kami mengobrol dan paparazzi mengambil foto kami. Keesokan
harinya, ia tak mau bertemu denganku. Sama sekali sampai sekarang,” gadis itu
mengangkat Stuey yang duduk di dekat kakinya dan mendudukan Stuey diantaranya
dan Seb. “Kukira kau akan menjauh dariku,” lanjutnya pelan.
Sebastien buru – buru menggeleng. “Itu hal terbodoh yang
pernah kudengar.”
Taylor tersenyum lega. Ia tak ingin kehilangan teman lagi
hanya karena dirinya selalu menjadi incaran awak media. “Kau mau berjalan
kesana?” Taylor menunjuk jalan setapak.
“Boleh. Ayo,” Seb bangkit dari duduknya dan Stuey
langsung mengikutinya. “Aku tak pernah datang kesini sebelumnya. Mungkin hanya
melihat foto Radnor Lake disiang hari. Ternyata pemandang di malam hari lebih
indah,” ucap Seb.
“Ya. Tapi kau juga harus kesini di siang hari. Kau tak
akan menyesalinya,” saran Taylor.
Diam – diam Seb memperhatikan gadis disebelahnya. Entah
kenapa Taylor terlihat begitu sempurna di mata Seb. Pintar, cantik, dewasa, dan
kemampuan bernyanyi serta menciptakan lagu sudah tak diragukan lagi. Taylor
juga terkenal punya banyak sahabat dari kalangan selebriti. “Taylor, apa yang
kau lakukan jika kau bukan penyanyi?”
Taylor terdiam. “Tak pernah ada yang menyanyaiku soal itu
sebelumnya... Mungkin, aku akan menjadi guru TK. Mengajar dan menyanyi untuk
anak – anak pasti akan menyenangkan. Bagaimana denganmu?”
“Aku? Aku mungkin akan mendirikan TK, kau boleh melamar
menjadi guru di sekolahku,” ujar Seb dengan senyuman khasnya, membuat Taylor
tertawa lagi dan memukul Seb pelan.
Tak jauh dari Tay dan Seb, sekitar 3 meter didepan
mereka, seorang lelaki berjalan. Lelaki itu mengenakan kemeja biru dengan
celana jeans. Seb melihatnya sekilas, tampak familiar. Jarak mereka dan lelaki
itu kini hanya semeter. Tiba – tiba, lelaki itu terjatuh tersandung kakinya
sendiri. Seb spontan membantunya untuk berdiri.
“Kau tak apa?” tanya Seb.
“Yeah, kurasa.”
“Apa aku mengenalmu?” tanya Seb pada lelaki itu.
Kepalanya mengatakan bahwa Seb mengenal lelaki itu, tapi sebuah nama tak juga
muncul.
Lelaki itu memperhatikan wajah Seb. Ia juga merasa
mengenal Seb. Terdiam selama beberapa detik, kemudian lelaki itu tersenyum
lebar. “Sebastien Lefebvre? Apa yang kau lakukan disini?” Seb masih diam,
menggali ingatannya lebih dalam. “Kau lupa padaku? Aku Brendon. Brendon Urie?”
“Astaga! Brendon! Lihatlah dirimu... Kau berubah sekali!”
Seb memeluk lelaki itu. “Dimana kawat gigi dan kacamata besarmu?”
“Aku sudah menanggalkan kawat gigiku, gadis – gadis lebih
menyukaiku tanpa kawat gigi,” jawabnya sambil tertawa.
“Ah, Taylor, ini temanku, Brendon. Kami sudah lama sekali
tak bertemu,” Seb mengenalkan Brendon pada Taylor.
Taylor yang dari tadi melihat mereka berdua saling
bercanda akhirnya maju beberapa langkah dan berjabat tangan dengan Brendon.
“Taylor,” ucap Taylor.
Brendon terdiam melihat Taylor, begitu juga Taylor.
“Tidak mungkin,” ujar Brendon sambil menunjuk gadis cantik didepannya. “Dulu
rambutmu begitu keriting dan mengembang seperti singa, Ally.”
Taylor terkejut mendengar Brendon memanggilnya dengan
nama tengahnya. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu.
“Brennie?” ucap Taylor pelan.
“Ya. Aku Brennie... Kumohon jangan panggil aku Brennie
lagi. Itu sangat tidak keren,” katanya sambil merentangkan tangannya, menunggu
pelukan dari Taylor. Ya, kemudian Taylor memeluknya.
“Brennie! Kapan kau kemari? Kau mengenal Seb?” tanya
Taylor bingung. Seb juga bingung melihat Taylor dan Brendon yang berpelukan.
“Oke. Jadi rupanya hanya aku yang mengerti apa yang
terjadi disini, ya? Lihatlah wajah kalian, lucu sekali. Oh, siapa anjing ini?”
Brendon melambaikan tangannya pada Stuey yang menggonggong.
“Dia Stuey, anjingku. Jadi, bisa kau jelaskan pada kami
apa yang terjadi? Bagaimana kau mengenal Taylor?” ujar Seb tidak sabar.
“Apa dia pacarmu?” tanya Brendon sambil menunjuk Taylor.
“Bukan,” Seb menggeleng.
“Apa aku pacarmu?” tanya Brendon pada Taylor yang
langsung direspon Taylor dengan melotot dan memukul lengannya pelan. “Baiklah,
jadi status kita semua disini adalah teman lama. Aku dan Ally, maksudku Taylor,
adalah teman masa kecil. Aku ingat aku tinggal disini hingga umur 12 tahun.”
“Aah... Kurasa aku mengerti sekarang,” Seb mengangguk.
“Lalu, aku pindah ke Canada, dan kemudian entah bagaimana
ceritanya, aku dan Seb menjadi sahabat baik di SMA. Terima kasih, Seb. Aku tak
akan bisa melewati masa SMA ku tanpa dirimu,” lanjut Brendon.
“Ini sangat aneh,” ujar Taylor.
“Ya! Dan kalian tahu apa yang aneh? Kita bertemu disini.
Aku, Seb, dan Taylor. Kurasa anggapan orang tentang dunia yang sempit memang
betul. Kalian berdua sedang apa disini?” kini Brendon yang bertanya.
“Kami... sedang mengobrol,” jawab Seb singkat.
“Aku tak menyangka Taylor Swift adalah teman masa
kecilku. Aku kira Taylor Swift adalah Taylor lain, bukan kau,” kata Brendon
pada Taylor. “Dan aku melihat foto kalian di dunia maya. Paparazzi belakangan
ini memang hebat sekali ya. Jadi, kalian tidak berpacaran?” Seb dan Taylor
menggeleng secara bersamaan. “Aku sangat merindukan kalian. Kalian ada waktu mengobrol denganku?”
..........
Seb membuka matanya yang berat. Ia bisa mendengar David
berteriak memanggil namanya. Ia menyipitkan matanya dan melihat jam tangannya
yang menunjukkan pukul 08.00. Kemudian ia bangun dari tempat tidurnya dan
dengan rambutnya yang masih berantakan, ia membuka pintu kamarnya. “Ada apa?
Berisik sekali.”
“Kau baru bangun tidur?” tanya David sambil melipat
tangan di depan dadanya. “Kau tahu jam berapa ini?”
Seb mengangguk. “Jam 8 pagi. Aku masih mengantuk sekali,”
kata Seb sambil berbalik menuju tempat tidurnya. Membiarkan pintu terbuka.
Chuck dan David masuk ke dalam kamarnya. “Kalau kau tidak
siap 15 menit lagi di lobi hotel, kau akan ditinggal,” ancam Chuck.
“Baiklah, tinggalkan aku,” jawab Seb malas. Ia menaikkan
selimutnya hingga menutupi kepalanya. Seb merasa sangat malas hari ini. Semalam
ia hanya tidur selama 4 jam karena mengobrol dengan Brendon. Taylor hanya
bergabung selama 1 jam, setelah itu pulang.
“Terserah kau saja,” ujar David sambil berlalu.
Chuck masih berdiri memperhatikan Seb menggeliat dibalik
selimutnya. “Apa kau sudah berbicara pada Taylor?” tanya Chuck.
“Ya. Dia baik – baik saja,” jawabnya singkat.
“Baiklah. Aku pikir kau ada masalah dengannya. Walau kau
tidak ikut jalan – jalan, segeralah mandi lalu makan,” kata Chuck.
Seb membuka selimutnya dengan segera. “Chuck, bisa aku
bicara padamu sebentar?” sahutnya. Chuck yang tadinya akan keluar, menghentikan
langkahnya dan berbalik menghadap Seb. “Aku... Bisakah rasa kagum berubah
menjadi... Apa namanya...”
“Suka? Cinta?” tebak Chuck.
Seb mengangkat bahunya. “Mungkin.”
Drummer itu mengangguk
mengerti. “Tentu saja bisa. Cinta bisa dialami siapa pun dan kapan pun. Bahkan
kau bisa mencintai seseorang tanpa alasan yang jelas. Apa kau...? Lupakan.”
Chuck segera keluar dari kamar Seb. Ia tahu benar apa yang sedang dirasakan
Seb, namun ia mengurungkan niat untuk menanyakannya pada Seb. Ia merasa Seb
belum siap. Seb sendiri hanya terdiam di tempat tidurnya, mengerjapkan matanya
dan berusaha mengerti apa yang ia rasakan di hatinya.
..........
“Rumahmu tak banyak berubah,” ujar Brendon sambil melihat
ke sekeliling ruang tamu rumah Taylor.
“Ah, kau ingat saat kau memecahkan vas bunga ibuku?
Kemudian kau menyimpannya di kamarku. Ibuku marah besar saat melihat pecahan
vas bunga itu,” ucap Taylor bernostalgia.
Brendon tersenyum mengingat kejadian itu. “Ya. Kenapa kau
masih mengingatnya? Aku jadi merasa bersalah...”
“Sudah seharusnya. Kau harus membelikanku es krim untuk
menebus kesalahanmu.”
“Akan kulakukan apapun untuk menebus kesalahanku,” kata
Brendon dengan wajah menyesal yang dibuat – buat. “Dimana ayah dan ibumu?”
“Ayahku sedang pergi. Ibuku ada di dapur. Ayo,” Taylor
berjalan di depan dan menyuruh Brendon mengikutinya. “Mom, lihat siapa yang datang.”
Ibu Taylor yang sedang memasukkan adonan kue ke dalam
oven segera mengelap tangannya dan menyambut Brendon. “Brendon! Tay sudah
bercerita bahwa kau datang. Apa kabar?” katanya sambil memeluk Brendon. “Kau
tumbuh menjadi tampan sekali, nak.”
Brendon tertawa mendengar perkataan ibu Taylor. “Banyak
yang bilang begitu.”
“Aku sedang membuat kue. Aku tak akan bisa membuat kue
jika Taylor sedang tidak libur dari kegiatan menyanyinya. Kau harus
mencicipinya,” ucap ibu Taylor sambil melihat jam dinding.
“Tentu saja. Kami akan kesini lagi jika kue sudah matang.
Ok mom, kami pergi dulu,” Taylor
mendorong Brendon keluar dari dapur. Ibu Taylor akan berbicara tentang
bagaimana cara memanggang kue yang baik dan Taylor yakin Brendon akan bosan.
“Apa kesibukanmu?” tanya Taylor. Mereka pergi ke taman belakang rumah, dimana
mereka bermain saat masih kecil.
“Menulis, menulis, dan menulis. Aku seorang penulis
novel,” jawab Brendon.
“Benarkah? Aku membaca banyak novel. Kau pasti
menggunakan nama pena, karena aku tak menemukan penulis novel dengan nama
Brendon Boyd Urie.”
Lelaki manis itu mengangguk. “Aku takut akan terlalu
terkenal jika aku menggunakan nama asliku,” sahut Brendon percaya diri. Taylor
menunjukkan ekspresi baiklah-kau-memang-sangat-terkenal dan tertawa kecil. “Apa
kau punya pengarang favorit?”
“Ya. Ada satu novel yang sangat kusukai. Dari jalan
ceritanya, sampai bagaimana si pengarang menyampaikannya. Begitu mendalam,
seakan itu adalah pengalamannya sendiri. Jared Raindropp,” Taylor duduk di
bawah bayangan pohon besar.
“Aku akan mengenalkannya padamu. Aku kenal dia,” Brendon
duduk disebelah Taylor.
“Kau kenal dia? Apa itu memang pengalaman pribadinya?”
“Setidaknya itu yang dia katakan padaku. Hei, bagaimana
kau mengenal Seb?”
Taylor menyipitkan matanya saat matahari menyorot matanya
dan bergeser sedikit untuk menghindarinya. “Kami bertemu beberapa hari yang
lalu di supermarket. Aku menabraknya, atau ia menabrakku. Kemudian kami saling
menyadari bahwa aku Taylor dan dia Seb. Begitulah. Sebenarnya ini bukan
pertemuan pertama kami. Tapi aku ragu ia mengingatnya,” cerita Taylor.
“Oh,” ucap Brendon. Kemudian Brendon memeluk Taylor yang
duduk disebelahnya. “Kau tak tahu betapa aku merindukanmu.”
Taylor balas memeluk Brendon. “Aku juga merindukanmu.”
Brendon melepaskan pelukannya dan merogoh saku jaketnya,
kemudian mengeluarkan 2 tiket. “Aku punya 2 tiket konser di Ryman Auditorium.
Kau mau ikut bersamaku?”
Taylor tergelak. “Pasti tiket dari Seb.”
“Ayolah. Tiket ini spesial. Kita diperbolehkan untuk
kebelakang panggung. Bahkan menonton dari kursi drummer. Seb bilang tiket ini
diatas VVIP. Aku lupa apa namanya... Royal VVIP mungkin entahlah. Hanya ada 2
ini. Ayo, kau pasti ingin ikut,” ajak Brendon. “Apa kau tega menolak ajakan
kencan ini?”
“Jadi, kau mengajakku kencan, Mr. Urie?”
Brendon mengangguk pasti. “Ayolah. Aku akan melindungimu
dari kejaran wartawan atau apapun nanti. Aku akan melindungimu,” kata Brendon
berjanji. Taylor terdiam beberapa detik, kemudian mengangguk. “Yes! Taylor
Swift menerima ajakan kencanku!” seru Brendon senang.
Taylor melihat teman masa
kecilnya heran. Taylor senang bisa bertemu kembali dengan Brendon, begitupun
Brendon. Bahkan lebih untuk Brendon. Ia sudah terlalu lama memendam rasa itu.
Dan Taylor harus tahu...
...to be continued...