Sabtu, 27 Oktober 2012

Fanfiction : THE STORY OF US #3

Cast :

Sebastien Lefebvre



Taylor Swift



Brendon Urie



David Desrosiers, Chuck Comeau, Stuey.



_that’s him. Someone from our past_

Jam tangan Seb menunjukkan pukul 21.45 waktu setempat, 15 menit sebelum bertemu dengan Taylor. Tapi Seb sudah dalam perjalanan menuju Radnor Lake State Park, tempat yang sudah mereka tentukan untuk bertemu. Radnor Lake State Park, tempat umum yang benar – benar terbuka. Memang bukan tempat bertemu yang ideal jika ingin menghindar dari paparazzi. Tapi Seb berpikir, akan lebih mencurigakan jika Tay dan Seb bertemu di tempat tertutup. Mereka hanya ingin mengobrol, bukankah taman akan menjadi tempat yang sangat bagus?
 Seb memperhatikan anjing pitbull kecil disampingnya yang berlari dengan semangat. Tentu saja, Stuey sangat menikmati saat berjalan – jalan. “Stuey, kenapa kau semangat sekali?” tanya Seb pada Stuey yang hanya menyalak sekali dan mempercepat larinya. “Pelan – pelan, buddy. Bukankah aku yang seharusnya bersemangat? Oh yeah, aku memang bersemangat,” lanjutnya sambil mengejar anjing itu.
Ini pertama kalinya Seb keluar untuk menemui seseorang dengan perasaan was – was. Alasannya satu, paparazzi. Ya, katakanlah Seb tak biasa menjadi incaran paparazzi. Selama ini yang lebih sering menjadi incaran di bandnya adalah sang vokalis, Pierre. Bukan berarti Seb tidak terkenal, namun selama ini ia hanya berurusan dengan wartawan, bukan paparazzi.
Radnor Lake mulai terlihat. Mata birunya menyusuri danau, kemudian ia menangkap sesosok yang dikenalnya. Gadis dengan rambut pirang dikepang menyamping, mengenakan summer dress merah dipadu dengan cardigan hitam. Gadis itu tampak sibuk bermain sendiri, melompat – lompat bagai anak kecil. Kata pertama yang muncul di kepala Seb adalah... Tidak ada. Seb kehilangan akalnya selama beberapa detik ketika melihat sosok ini.
“Taylor, maafkan aku terlambat,” ucap Seb sambil terengah – engah karena berlari.
Gadis itu menoleh. “Hai, Seb. Terlambat? Kau bicara apa? Kau datang 10 menit lebih awal,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Apa kau Stuey?” tanyanya sambil memandangi anjing yang duduk manis disebelah kaki Seb. Taylor segera membelai lembut Stuey. Anjing itu tentu saja menyambut belaian Tay dengan gembira dan menggoyangkan ekornya karena senang. “Dia lucu sekali,” lanjutnya.
“Biasanya dia tidak begini. Stuey akan menyalak jika bertemu orang baru. Kurasa Stuey menyukaimu,” jelas Seb. “Mm, apa kau sudah lama menunggu?”
“Tidak. Aku baru datang. Aku suka sekali taman ini, jadi aku datang lebih awal. Apalagi danaunya di malam hari,” jawab Taylor. Seb bisa melihat dengan jelas mata berbinar Taylor saat melihat danau. Dan Seb mengerti betul kenapa Taylor menyukai danau di malam hari. Pantulan bulan dan lampu – lampu disekitar membuatnya menjadi sangat indah.
Seb mengangguk – angguk menikmati keindahan danau. “Ya, memang sangat indah,” kata Seb pelan, lebih pada dirinya sendiri.
“Jadi, bagaimana perjalananmu di Nashville? Tempat apa saja yang sudah kau kunjungi?” Taylor membiarkan Stuey berlarian disekitarnya dan kemudian duduk di bangku taman.
Seb mengikuti Taylor dan duduk disebelahnya. “Lane Motor Museum, RCA Studio B, dan The Hermitage. David senang sekali mengunjungi Lane Motor Museum. Dia bilang ia melihat mobil pertama kakeknya disana.” Taylor tertawa. “Dan Chuck, ia tak bisa menutup mulutnya saat mengunjungi The Hermitage.”
“Teman – temanmu lucu sekali,” komentar Taylor.
“Ya, kau harus menemui mereka nanti. Bahkan mereka mengerjaiku soal foto... Oh, maksudku... Tidak, lupakan,” Seb buru – buru memperbaiki perkataannya. Ia tak bermaksud untuk membahas foto mereka yang beredar. Seb takut Taylor sedang tidak ingin membicarakan hal ini.
“Mereka tahu soal foto kita? Apa komentar mereka?” tanya Taylor. Taylor tampak santai membicarakan ini.
“Awalnya mereka mengira ini sungguhan. Kau dan aku. Ya, kau tahu, berpacaran. Mereka menanyaiku apa yang sebenarnya terjadi. Kukira mereka semua marah padaku, tapi ternyata tidak. Aku jarang sekali dekat dengan seorang wanita, maksudku teman. Jadi, mereka curiga saat foto itu beredar. Bukan berarti aku tidak pernah punya pacar, maksudku bukan kau pacarku. Oh, astaga sebaiknya aku diam...” Seb memukul dahinya dengan telapak tangannya karena bicara bodoh dan Taylor tak bisa menahan tawanya.
“Kau tahu, teman – temanku juga menginterogasiku soal hal ini. Mereka memberiku selamat lalu menanyakan sejak kapan aku berpacaran denganmu. Bahkan orang tuaku langsung mencari datamu di internet,” ceritanya sambil tertawa kecil. “Maafkan aku, Seb.”
“Hei, sudah kubilang ini bukan salahmu. Bukan salah siapa – siapa.” Seb memberikan isyarat pada Stuey agar tidak bermain jauh – jauh. “Aku memang tak pernah berurusan dengan paparazzi. Tapi, aku menyadari, entertainer tak akan lepas dari hal semacam ini. Jadi yeah... Tak apa.”
Taylor mengangguk. “Dulu, seseorang yang baru kukenal. Seperti kau. Kami mengobrol dan paparazzi mengambil foto kami. Keesokan harinya, ia tak mau bertemu denganku. Sama sekali sampai sekarang,” gadis itu mengangkat Stuey yang duduk di dekat kakinya dan mendudukan Stuey diantaranya dan Seb. “Kukira kau akan menjauh dariku,” lanjutnya pelan.
Sebastien buru – buru menggeleng. “Itu hal terbodoh yang pernah kudengar.”
Taylor tersenyum lega. Ia tak ingin kehilangan teman lagi hanya karena dirinya selalu menjadi incaran awak media. “Kau mau berjalan kesana?” Taylor menunjuk jalan setapak.
“Boleh. Ayo,” Seb bangkit dari duduknya dan Stuey langsung mengikutinya. “Aku tak pernah datang kesini sebelumnya. Mungkin hanya melihat foto Radnor Lake disiang hari. Ternyata pemandang di malam hari lebih indah,” ucap Seb.
“Ya. Tapi kau juga harus kesini di siang hari. Kau tak akan menyesalinya,” saran Taylor.
Diam – diam Seb memperhatikan gadis disebelahnya. Entah kenapa Taylor terlihat begitu sempurna di mata Seb. Pintar, cantik, dewasa, dan kemampuan bernyanyi serta menciptakan lagu sudah tak diragukan lagi. Taylor juga terkenal punya banyak sahabat dari kalangan selebriti. “Taylor, apa yang kau lakukan jika kau bukan penyanyi?”
Taylor terdiam. “Tak pernah ada yang menyanyaiku soal itu sebelumnya... Mungkin, aku akan menjadi guru TK. Mengajar dan menyanyi untuk anak – anak pasti akan menyenangkan. Bagaimana denganmu?”
“Aku? Aku mungkin akan mendirikan TK, kau boleh melamar menjadi guru di sekolahku,” ujar Seb dengan senyuman khasnya, membuat Taylor tertawa lagi dan memukul Seb pelan.
Tak jauh dari Tay dan Seb, sekitar 3 meter didepan mereka, seorang lelaki berjalan. Lelaki itu mengenakan kemeja biru dengan celana jeans. Seb melihatnya sekilas, tampak familiar. Jarak mereka dan lelaki itu kini hanya semeter. Tiba – tiba, lelaki itu terjatuh tersandung kakinya sendiri. Seb spontan membantunya untuk berdiri.
“Kau tak apa?” tanya Seb.
“Yeah, kurasa.”
“Apa aku mengenalmu?” tanya Seb pada lelaki itu. Kepalanya mengatakan bahwa Seb mengenal lelaki itu, tapi sebuah nama tak juga muncul.
Lelaki itu memperhatikan wajah Seb. Ia juga merasa mengenal Seb. Terdiam selama beberapa detik, kemudian lelaki itu tersenyum lebar. “Sebastien Lefebvre? Apa yang kau lakukan disini?” Seb masih diam, menggali ingatannya lebih dalam. “Kau lupa padaku? Aku Brendon. Brendon Urie?”
“Astaga! Brendon! Lihatlah dirimu... Kau berubah sekali!” Seb memeluk lelaki itu. “Dimana kawat gigi dan kacamata besarmu?”
“Aku sudah menanggalkan kawat gigiku, gadis – gadis lebih menyukaiku tanpa kawat gigi,” jawabnya sambil tertawa.
“Ah, Taylor, ini temanku, Brendon. Kami sudah lama sekali tak bertemu,” Seb mengenalkan Brendon pada Taylor.
Taylor yang dari tadi melihat mereka berdua saling bercanda akhirnya maju beberapa langkah dan berjabat tangan dengan Brendon. “Taylor,” ucap Taylor.
Brendon terdiam melihat Taylor, begitu juga Taylor. “Tidak mungkin,” ujar Brendon sambil menunjuk gadis cantik didepannya. “Dulu rambutmu begitu keriting dan mengembang seperti singa, Ally.”
Taylor terkejut mendengar Brendon memanggilnya dengan nama tengahnya. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu. “Brennie?” ucap Taylor pelan.
“Ya. Aku Brennie... Kumohon jangan panggil aku Brennie lagi. Itu sangat tidak keren,” katanya sambil merentangkan tangannya, menunggu pelukan dari Taylor. Ya, kemudian Taylor memeluknya.
“Brennie! Kapan kau kemari? Kau mengenal Seb?” tanya Taylor bingung. Seb juga bingung melihat Taylor dan Brendon yang berpelukan.
“Oke. Jadi rupanya hanya aku yang mengerti apa yang terjadi disini, ya? Lihatlah wajah kalian, lucu sekali. Oh, siapa anjing ini?” Brendon melambaikan tangannya pada Stuey yang menggonggong.
“Dia Stuey, anjingku. Jadi, bisa kau jelaskan pada kami apa yang terjadi? Bagaimana kau mengenal Taylor?” ujar Seb tidak sabar.
“Apa dia pacarmu?” tanya Brendon sambil menunjuk Taylor.
“Bukan,” Seb menggeleng.
“Apa aku pacarmu?” tanya Brendon pada Taylor yang langsung direspon Taylor dengan melotot dan memukul lengannya pelan. “Baiklah, jadi status kita semua disini adalah teman lama. Aku dan Ally, maksudku Taylor, adalah teman masa kecil. Aku ingat aku tinggal disini hingga umur 12 tahun.”
“Aah... Kurasa aku mengerti sekarang,” Seb mengangguk.
“Lalu, aku pindah ke Canada, dan kemudian entah bagaimana ceritanya, aku dan Seb menjadi sahabat baik di SMA. Terima kasih, Seb. Aku tak akan bisa melewati masa SMA ku tanpa dirimu,” lanjut Brendon.
“Ini sangat aneh,” ujar Taylor.
“Ya! Dan kalian tahu apa yang aneh? Kita bertemu disini. Aku, Seb, dan Taylor. Kurasa anggapan orang tentang dunia yang sempit memang betul. Kalian berdua sedang apa disini?” kini Brendon yang bertanya.
“Kami... sedang mengobrol,” jawab Seb singkat.
“Aku tak menyangka Taylor Swift adalah teman masa kecilku. Aku kira Taylor Swift adalah Taylor lain, bukan kau,” kata Brendon pada Taylor. “Dan aku melihat foto kalian di dunia maya. Paparazzi belakangan ini memang hebat sekali ya. Jadi, kalian tidak berpacaran?” Seb dan Taylor menggeleng secara bersamaan. “Aku sangat merindukan kalian. Kalian ada waktu mengobrol denganku?”

..........

Seb membuka matanya yang berat. Ia bisa mendengar David berteriak memanggil namanya. Ia menyipitkan matanya dan melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 08.00. Kemudian ia bangun dari tempat tidurnya dan dengan rambutnya yang masih berantakan, ia membuka pintu kamarnya. “Ada apa? Berisik sekali.”
“Kau baru bangun tidur?” tanya David sambil melipat tangan di depan dadanya. “Kau tahu jam berapa ini?”
Seb mengangguk. “Jam 8 pagi. Aku masih mengantuk sekali,” kata Seb sambil berbalik menuju tempat tidurnya. Membiarkan pintu terbuka.
Chuck dan David masuk ke dalam kamarnya. “Kalau kau tidak siap 15 menit lagi di lobi hotel, kau akan ditinggal,” ancam Chuck.
“Baiklah, tinggalkan aku,” jawab Seb malas. Ia menaikkan selimutnya hingga menutupi kepalanya. Seb merasa sangat malas hari ini. Semalam ia hanya tidur selama 4 jam karena mengobrol dengan Brendon. Taylor hanya bergabung selama 1 jam, setelah itu pulang.
“Terserah kau saja,” ujar David sambil berlalu.
Chuck masih berdiri memperhatikan Seb menggeliat dibalik selimutnya. “Apa kau sudah berbicara pada Taylor?” tanya Chuck.
“Ya. Dia baik – baik saja,” jawabnya singkat.
“Baiklah. Aku pikir kau ada masalah dengannya. Walau kau tidak ikut jalan – jalan, segeralah mandi lalu makan,” kata Chuck.
Seb membuka selimutnya dengan segera. “Chuck, bisa aku bicara padamu sebentar?” sahutnya. Chuck yang tadinya akan keluar, menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Seb. “Aku... Bisakah rasa kagum berubah menjadi... Apa namanya...”
“Suka? Cinta?” tebak Chuck.
Seb mengangkat bahunya. “Mungkin.”
Drummer itu mengangguk mengerti. “Tentu saja bisa. Cinta bisa dialami siapa pun dan kapan pun. Bahkan kau bisa mencintai seseorang tanpa alasan yang jelas. Apa kau...? Lupakan.” Chuck segera keluar dari kamar Seb. Ia tahu benar apa yang sedang dirasakan Seb, namun ia mengurungkan niat untuk menanyakannya pada Seb. Ia merasa Seb belum siap. Seb sendiri hanya terdiam di tempat tidurnya, mengerjapkan matanya dan berusaha mengerti apa yang ia rasakan di hatinya.


..........

“Rumahmu tak banyak berubah,” ujar Brendon sambil melihat ke sekeliling ruang tamu rumah Taylor.
“Ah, kau ingat saat kau memecahkan vas bunga ibuku? Kemudian kau menyimpannya di kamarku. Ibuku marah besar saat melihat pecahan vas bunga itu,” ucap Taylor bernostalgia.
Brendon tersenyum mengingat kejadian itu. “Ya. Kenapa kau masih mengingatnya? Aku jadi merasa bersalah...”
“Sudah seharusnya. Kau harus membelikanku es krim untuk menebus kesalahanmu.”
“Akan kulakukan apapun untuk menebus kesalahanku,” kata Brendon dengan wajah menyesal yang dibuat – buat. “Dimana ayah dan ibumu?”
“Ayahku sedang pergi. Ibuku ada di dapur. Ayo,” Taylor berjalan di depan dan menyuruh Brendon mengikutinya. “Mom, lihat siapa yang datang.”
Ibu Taylor yang sedang memasukkan adonan kue ke dalam oven segera mengelap tangannya dan menyambut Brendon. “Brendon! Tay sudah bercerita bahwa kau datang. Apa kabar?” katanya sambil memeluk Brendon. “Kau tumbuh menjadi tampan sekali, nak.”
Brendon tertawa mendengar perkataan ibu Taylor. “Banyak yang bilang begitu.”
“Aku sedang membuat kue. Aku tak akan bisa membuat kue jika Taylor sedang tidak libur dari kegiatan menyanyinya. Kau harus mencicipinya,” ucap ibu Taylor sambil melihat jam dinding.
“Tentu saja. Kami akan kesini lagi jika kue sudah matang. Ok mom, kami pergi dulu,” Taylor mendorong Brendon keluar dari dapur. Ibu Taylor akan berbicara tentang bagaimana cara memanggang kue yang baik dan Taylor yakin Brendon akan bosan. “Apa kesibukanmu?” tanya Taylor. Mereka pergi ke taman belakang rumah, dimana mereka bermain saat masih kecil.
“Menulis, menulis, dan menulis. Aku seorang penulis novel,” jawab Brendon.
“Benarkah? Aku membaca banyak novel. Kau pasti menggunakan nama pena, karena aku tak menemukan penulis novel dengan nama Brendon Boyd Urie.”
Lelaki manis itu mengangguk. “Aku takut akan terlalu terkenal jika aku menggunakan nama asliku,” sahut Brendon percaya diri. Taylor menunjukkan ekspresi baiklah-kau-memang-sangat-terkenal dan tertawa kecil. “Apa kau punya pengarang favorit?”
“Ya. Ada satu novel yang sangat kusukai. Dari jalan ceritanya, sampai bagaimana si pengarang menyampaikannya. Begitu mendalam, seakan itu adalah pengalamannya sendiri. Jared Raindropp,” Taylor duduk di bawah bayangan pohon besar.
“Aku akan mengenalkannya padamu. Aku kenal dia,” Brendon duduk disebelah Taylor.
“Kau kenal dia? Apa itu memang pengalaman pribadinya?”
“Setidaknya itu yang dia katakan padaku. Hei, bagaimana kau mengenal Seb?”
Taylor menyipitkan matanya saat matahari menyorot matanya dan bergeser sedikit untuk menghindarinya. “Kami bertemu beberapa hari yang lalu di supermarket. Aku menabraknya, atau ia menabrakku. Kemudian kami saling menyadari bahwa aku Taylor dan dia Seb. Begitulah. Sebenarnya ini bukan pertemuan pertama kami. Tapi aku ragu ia mengingatnya,” cerita Taylor.
“Oh,” ucap Brendon. Kemudian Brendon memeluk Taylor yang duduk disebelahnya. “Kau tak tahu betapa aku merindukanmu.”
Taylor balas memeluk Brendon. “Aku juga merindukanmu.”
Brendon melepaskan pelukannya dan merogoh saku jaketnya, kemudian mengeluarkan 2 tiket. “Aku punya 2 tiket konser di Ryman Auditorium. Kau mau ikut bersamaku?”
Taylor tergelak. “Pasti tiket dari Seb.”
“Ayolah. Tiket ini spesial. Kita diperbolehkan untuk kebelakang panggung. Bahkan menonton dari kursi drummer. Seb bilang tiket ini diatas VVIP. Aku lupa apa namanya... Royal VVIP mungkin entahlah. Hanya ada 2 ini. Ayo, kau pasti ingin ikut,” ajak Brendon. “Apa kau tega menolak ajakan kencan ini?”
“Jadi, kau mengajakku kencan, Mr. Urie?”
Brendon mengangguk pasti. “Ayolah. Aku akan melindungimu dari kejaran wartawan atau apapun nanti. Aku akan melindungimu,” kata Brendon berjanji. Taylor terdiam beberapa detik, kemudian mengangguk. “Yes! Taylor Swift menerima ajakan kencanku!” seru Brendon senang.
Taylor melihat teman masa kecilnya heran. Taylor senang bisa bertemu kembali dengan Brendon, begitupun Brendon. Bahkan lebih untuk Brendon. Ia sudah terlalu lama memendam rasa itu. Dan Taylor harus tahu...



...to be continued...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar