Minggu, 08 Juli 2012

Fanfiction : THE STORY OF US #1

Cast :

Sebastien Lefebvre




Taylor Swift





Pierre Bouvier, David Desrosiers, Jeff Stinco, Chuck Comeau, Stuey.



_First Meeting? Sweet_

             Sebastien menghela nafas panjang di tempat duduknya. Matanya memperhatikan pepohonan di luar yang seakan berjalan mundur. Ia mulai mengeluarkan iPhonenya dari saku celana dan memainkannya. Hanya bertahan 5 menit, ia memasukkan iPhonenya kembali ke tempat asalnya. “Kemana kita akan pergi?” tanya Seb yang sudah sangat bosan dengan perjalanannya.
            “Tennessee. Kau sudah bertanya tadi,” ujar Chuck sembari menjawab pertanyaan – pertanyaan fans di twitternya.
            “Aku lupa,” sahut Sebastien malas. “Kalian tahu, menurut perhitunganku, kita sudah tampil sebanyak 45 kali di tour ini.” Sebastien sudah melakukan semua hal yang bisa membuat bosannya hilang, termasuk menghitung penampilan mereka di tour album baru mereka ini.
            Jeff tertawa. “Kau menghitungnya?”
            “Ya. Astaga, aku bosan,” ucap Seb yang kemudian berdiri dan mondar – mandir di dalam bis. Berjalan ke dapur, ke ruang tengah dimana mereka berkumpul, mondar – mandir di depan bunks Pierre dan mencoba membangunkan Pierre dengan bernyanyi keras – keras namun sia – sia, bahkan menggoda Stuey yang sedang tertidur pulas di bawah meja.
            “Kemarilah, pijat kakiku. Aku rasa aku terlalu tinggi melompat saat konser kemarin,” perintah David yang kesal melihat personil termuda itu mondar – mandir tak karuan. Seb hanya mengangkat alisnya dan memberikan David pandangan kau-pikir-aku-siapa.
            Akhirnya Seb menyerah dan kembali ke tempatnya. “Baiklah, aku akan duduk disini sampai kita sampai di... Entahlah.”
            “Tennessee, Nashville,” ulang Chuck yang masih berkutat dengan twitternya. "Aku sudah mengatakannya 5 kali hari ini, untuk sekedar kalian tahu."
            “Nashville? Bukankah Taylor Swift dari Nashville? Hey, Seb, jika kau beruntung mungkin kau bisa bertemu dengannya,” celetuk Jeff yang baru sadar bahwa tujuan mereka selanjutnya adalah Nashville. “Kau suka padanya, kan?”
            “Kita akan tampil di Nashville? Kau tidak memberitahuku kita akan tampil di Nashville, Chuck,” Seb terlihat sedikit terkejut. Kemudian tersadar akan perkataan Jeff, “Bukan seperti itu Jeff, aku hanya kagum padanya,” koreksi Seb. Mood Seb berubah. Ia tersenyum sendiri membayangkan Taylor. “Tidak mungkin, Taylor pasti sibuk,” ujar Seb pada dirinya sendiri. Menghilangkan imajinasinya bertemu gadis cantik berambut keriting pirang itu. “Bahkan aku juga tak tahu harus berkata apa jika bertemu dengannya,” gumamnya lagi.
            David yang menangkap Seb sedang berbicara sendiri tertawa kecil. “Katakan saja kau suka padanya. Apa bedanya kagum dengan suka?” ledeknya.
            Seb mengangguk. Namun ia tidak menangkap maksud David. Celetukan David masuk telinga kanan dan langsung keluar dari telinga kirinya. Pikirannya terbang membayangkan jika Taylor benar – benar di depannya, apa yang akan ia katakan? Walaupun Seb sudah membuat kalkulasinya sendiri, hanya 20% kemungkinannya ia bisa bertemu gadis cantik itu di Nashville.


..........


             “Oh astaga! Kau tidak tahu betapa lelahnya aku,” Pierre meregangkan tubuhnya dan membantingnya ke tempat tidur.
            “Kau tidur sepanjang perjalanan. Apa yang membuatmu lelah? Dasar pemalas,” ujar David seraya memukulkan bantal ke kepala Pierre.
            Kedua sahabat itu kemudian saling berbicara dengan kata – kata kotor. Seb melihat mereka sekilas dan bersyukur bukan Chuck yang sedang mengejek Pierre. Adu fisik sering terjadi diantara Chuck dan Pierre, walaupun itu hanya bercanda. Mereka akan saling menampar dan untungnya, berakhir dengan pelukan.
            Seb membuka tirai kamarnya dan terpukau dengan keindahan kota ini dimalam hari. Nashville terlihat indah karena bermandikan cahaya lampu kota dari ketinggian—entahlah, mungkin lantai 12—kamar hotel Seb.
            “Boys, kalian punya waktu 2 hari untuk berlibur sebelum tampil di Ryman Auditorium. Sekarang istirahatlah,” ujar sang manager. Chuck tersenyum lega. Ia masih punya beberapa hari memulihkan tenaganya. Drummer memang selalu menjadi yang paling lelah setelah konser.
            “Well, kalian semua keluar. Ini kamarku,” Seb menarik paksa Pierre dari tempat tidurnya. Keadaan sudah berubah, kini masing – masing personil bisa memiliki kamar hotel mereka sendiri. Agak berbeda dari 10 tahun lalu memang, saat debut album baru mereka.
            “Kau tidak mau tidur denganku, Sebie?” goda Pierre. Jeff, Chuck, dan David yang memang sudah lelah langsung berhamburan keluar dari kamar Seb. Sedangkan Pierre masih duduk – duduk di ranjang sambil tersenyum jahil.
            Tanpa berkata – kata, Seb memberikan vokalis itu pandangan i-will-kick-your-ass dan benar saja, Pierre langsung berdiri dan pergi sambil menutup pintu.
            “Baiklah Seb!” serunya pada diri sendiri. Ia membuka sepatunya dan langsung berbaring di ranjang. Ranjang dan bantal yang empuk, serta selimut yang lembut... Mengantarkannya ke alam mimpi dengan cepat...

            Seb terbangun. Ia mengerjapkan matanya, membiasakan cahaya yang menembus matanya. Tangannya mencari – cari jam tangan di bawah bantal. Jam berapa ini? Jam 03.00?! Kenapa aku terbangun di waktu seperti ini? Seb jadi teringat tentang hal yang menyebutkan bahwa jika kau terbangun di sekitar jam 2 - 3 pagi, 80% karena ada yang memperhatikanmu tidur. Bullshit, aku adalah 20% nya, pikirnya untuk menjauhkan pikiran negatif. 
            Lelaki bermata biru itu mengacak – acak rambutnya dan berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia berdiri lama menghadap cermin di wastafel, kemudian melakukan ritual mandi. Ini pertama kalinya Seb bangun dini hari dan dengan kesadaran diri, mandi. Dengan handuk melingkar di pinggangnya, ia mengeluarkan underwearnya dan kaos putih kesayangannya serta celana panjang jeans. “Aku lapar,” katanya pada diri sendiri.
            Sebagai seorang pemain band terkenal, Sebastien bisa dengan mudah memesan makanan apapun yang ia suka. Namun, kali ini ide gila muncul di benaknya. Ia akan berpetualang menjelajah kota Nashville—lebih tepatnya hanya di sekitar hotel— sendirian. Seb mengambil jaket hodienya dan mengenakan tudungnya. Keluar diam – diam dari kamarnya, melewati bodyguardnya yang gendut, Ben, sambil menunduk menyembunyikan wajahnya serta berjalan dengan tenang menuju lift. Berhasil. “Aku ninja. Aku sudah tahu hal ini sejak dulu,” ujarnya bangga setelah pintu lift menutup.
            “Kanan? Kiri?” Seb menoleh ke kanan dan kiri setelah keluar dari hotel dengan aman. Akhirnya ia memutuskan untuk ke kanan. Sepi. Hanya ada satu atau dua mobil yang melintas. Sebastien menarik nafas panjang dan membentangkan kedua tangannya. Udaranya begitu segar. Belakangan ini ia tak bisa berjalan – jalan santai seperti ini karena ia harus menghabiskan harinya di dalam tour bus. “Pasti Stuey senang sekali berjalan – jalan bersamaku seperti ini. Oh, aku merindukan anjing itu,” gumamnya. Sesaat setelah mereka sampai di Tennessee, Stuey dibawa ke rumah sakit hewan setempat untuk vaksinasi rutin. Mereka baru berpisah selama 10 jam dan baru akan dipertemukan 6 jam lagi.
            Semua toko masih tutup. Tentu saja, ini masih dini hari. Seb menemukan toko aneh—yang pasti akan ia datangi saat buka—, seperti magic stuff store. Di etalase ada beberapa buku mantra yang aneh dan benda menjijikkan—Seb tak yakin, tapi tampak seperti jari— yang ditaruh di dalam toples berisi air. Ia menyerengit dan melanjutkan perjalanannya lagi.
            “Akhirnya, ada toko yang buka,” teriaknya senang saat melihat supermarket 24 jam diseberang jalan. Seb membaca papan yang menunjukkan nama jalan disebelah supermarket dan sedikit terkejut karena ternyata ia sudah berjalan 10 blok.
            Bel berbunyi saat Seb membuka pintu supermarket. Lelaki paruh baya yang menjaga kasir terlihat bosan, membolak balik majalah playboynya sambil memindah channel televisi. Masih dengan tudungnya, Seb mengambil troli dan berjalan lambat menyusuri tiap rak disana. Ia tak yakin akan membeli banyak, namun perutnya yang lapar tampaknya bisa memaksanya membeli seluruh makanan disini.
            Rak makanan. Mulut Seb menganga lebar saat melihat snack kesukaannya berjajar rapi. Tanpa pikir panjang, ia mengambil beberapa bungkus. 1, 2, 3, 4, 5, dan lagi... 10? Kurasa sudah cukup banyak. Jika Jeff tahu, ia akan menghabiskan semua ini. Jika David tahu, aku akan dimarahinya jika membeli sebanyak ini. Sudahlah, aku ambil 6 bungkus saja... Seb berbalik untuk mengembalikan beberapa bungkus snack ke raknya, tanpa tahu ada seseorang yang berdiri dibelakangnya. Ya, Seb menabraknya.
            “Aw...!” teriak gadis itu. Ia jatuh terduduk.
            “Astaga, maafkan aku. Aku tak tahu ada orang dibelakangku,” Seb buru - buru mengembalikan belanjaan gadis itu yang tumpah dari keranjang. Kemudian membantu gadis itu berdiri. “Kau tidak apa – apa?” tanya Seb sambil mengulurkan tangannya. “Kau? Tidak mungkin,” gumam Seb saat gadis itu mendongak.
            Gadis berambut keriting pirang, dengan kacamata besar ‘geek’ nya, meraih tangan Seb dan berdiri. Menepuk bagian pantat celana pendek jeansnya dan membetulkan kemeja putih kebesarannya. “Ya, aku tidak apa – apa,” katanya. Ia terdiam menatap mata biru Seb dan melotot terkejut. Keduanya saling memberikan tatapan heran dan menunjuk satu sama lain selama sekitar 5 detik.
            “Ssstt...” keduanya spontan mengisyaratkan agar tidak ribut, yang malah diakhiri dengan tawa mereka berdua.
            “Taylor Swift?” tanya Seb setelah berhenti tertawa. Ia menurunkan tudung jaketnya.
            Gadis itu masih sedikit tertawa dan berhenti segera setelah penjaga kasir melihat apa yang terjadi karena mendengar tawa mereka. “Ya. Dan kau... Sebastien Lefeb... Bagaimana mengejanya?”
            “Lefebvre. Panggil saja aku Seb.”
            “Lefebvre. Seb, oke. Maafkan aku,” ujarnya sambil tersenyum.
            “Tak apa. Apa yang kau lakukan disini?” tanya Seb, yang langsung tersadar bahwa itu pertanyaan bodoh.
            “Well, berbelanja. Dan supermarket ini letaknya tak jauh dari rumahku, jadi... Hei, harusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan disini? Ini jam 4 pagi. Kau tidak sedang kabur, kan?”
            Seb hampir saja memasang tampang wajah tolol karena begitu senang bertemu Taylor Swift. Ia jadi sangat bersyukur saat ingat sudah mandi dan berganti baju. “Ka...kabur? Tidak. A...aku ada konser disini,” jawabnya tergagap setelah sadar dari lamunannya. “Aku hanya ingin berjalan – jalan. Sudah lama sekali tidak bisa kulakukan,” lanjutnya.
            “Dan membeli snack? Banyak sekali,” Taylor melihat isi troli Seb.
            Seb mengangguk. “Ini pesanan Jeff. Dia memang agak gila, bisa menghabiskan semuanya sendirian,” katanya berbohong. “Kau tahu, aku sedikit lapar. Apa ada kedai makanan yang buka disekitar sini?” tanya Seb sambil memegangi perutnya.
            Taylor mengangguk. Dengan senyum lebar, Seb mempersilahkan Taylor untuk jalan duluan. “Kau tidak jadi membeli pesanan Jeff?” tanya gadis itu, menoleh ke belakang, menunjuk troli.
            “Tidak jadi. Dia bisa membelinya sendiri,” jelas Seb. “Ah, aku akan membeli sesuatu.” Seb berlari kecil menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral dingin. Kemudian mereka berdua membayar belanjaan mereka dan keluar dari supermarket.
            “Apa kau kesini sendirian?” tanya Taylor.
            Seb membukakan pintu supermarket untuk Taylor dan kemudian berjalan disampingnya. “Ya. Kenapa?”
            “Kau pernah ke Nashville sebelumnya?” tanya Taylor lagi, makin penasaran.
            “Belum,” jawabnya santai.
            Gadis itu menggeleng tidak percaya. “Jam 4 pagi, berkeliaran di kota yang belum pernah kau datangi. Kau gila?”
            Seb tertawa. “Banyak yang bilang begitu. Hei, aku bisa naik taksi. Lagipula, aku ini lelaki. Apa yang harus kutakutkan?”
            “Oke... Benar juga, Seb. Ah, ini dia, kita sampai. Benar – benar dekat dari supermarket tadi, kan? Restoran italia,” Taylor berhenti di depan restoran sederhana yang romantis menurut Seb. Lampu – lampu kecil yang tampak seperti hamparan bintang menghiasinya. “Memang kecil, tapi makanannya enak sekali. Bisa dibilang, ini langgananku,” lanjutnya.
            “Benarkah?” tanya Seb ragu. Ia sedang berakting. Ini salah satu taktiknya agar Taylor mau menemaninya makan dan ngobrol lebih banyak. Seb punya sejuta pertanyaan untuk Taylor.
            Taylor menyipitkan matanya. “Kau tak ingin aku pergi, ya?” ujar Taylor, membuat Seb terkejut. Kemudian Taylor tertawa dan memukul pundak Seb pelan. “Aku bercanda, Seb. Baiklah, aku akan menemanimu. Aku, sebagai warga Nashville yang baik akan melayani turis untuk menikmati kota kami. Silahkan, tuan,” gadis itu tersenyum lebar dan mempersilahkan Seb untuk memasuki restoran duluan.
            “Aku sangat tersanjung. Jadi, nona, tempat mana yang kau rekomendasikan agar aku bisa menikmati makanku?”
            Taylor menunjuk tempat di sudut, disamping jendela yang dialiri air dan tampak seperti hujan. “Itu tempat rahasiaku. Tapi spesial untukmu, aku bocorkan rahasia ini, tuan.”
            “Terima kasih, nona. Kau sangat baik,” ucap Seb sambil mengacungkan jempolnya dan diikuti tawa mereka berdua.
            Ini hari keberuntungan bagi Seb. Baru tadi siang dia berkhayal bisa bertemu dengan Taylor Swift, sekarang Taylor Swift ada di depannya. Dengan ramahnya menawarinya menu – menu di restoran itu. Hampir saja Seb menampar mukanya sendiri untuk memastikan ini bukan mimpi kalau saja pelayan restoran itu tidak menginjak kakinya.
            Keberuntungan lain, tidak seperti yang Seb pikirkan bahwa ia tak akan bisa bicara saat bertemu Taylor. Ya, Seb dengan lancarnya melontarkan joke serta cerita lucu dan membuat Taylor tertawa. Wajah gadis cantik itu sampai – sampai berubah menjadi merah karena cerita Seb.
            “Hentikan itu, Seb. Kau membuat perutku sakit,” Taylor berhenti tertawa dan memegangi perutnya.
            “Baiklah... Wow, pas sekali. Makanannya datang.” Pelayan berseragam itu meletakkan pesanan mereka berdua dan mempersilahkan mereka untuk makan. “Baiklah, bon appetite!” seru Seb semangat.
            “Bagaimana? Enak, kan? Aku tidak berbohong padamu,” Taylor menunggu reaksi Seb. Seb tak mengatakan apa – apa, hanya mengacungkan kedua jempolnya. “Kalau kau mau kesini lagi, restoran ini buka dari jam 9 malam sampai jam 9 pagi. Agak aneh memang, tapi itulah daya tariknya.”
            “Aku pasti kesini lagi,” ucap Seb dengan mulut penuh. Tak bisa dipungkiri, Seb sudah menyukai restoran ini sejak melihatnya dari luar. Temanya sederhana dan suasananya menyenangkan. Tak begitu banyak orang yang ada di sana saat itu, tapi tampaknya restoran ini tak pernah sepi. “Hei, Taylor, aku boleh menanyakan sesuatu? Kenapa kau mengenaliku tadi di supermarket?”
            Taylor menelan makanan di mulutnya. “Kau gitaris band terkenal. Siapa yang tak mengenalmu?”
            “Kasir di supermarket tadi?” jawab Seb asal.
            Taylor tertawa kecil. “Mr. Beck memang agak rabun, sudah sejak aku berumur 15 tahun.”
            “Bukan apa – apa. Tapi, kita tak pernah bertemu secara langsung. Aku hanya kaget, kau bisa mengenalku. Aku senang kau mengenaliku,” ucap Seb.
            Taylor terdiam untuk beberapa saat, kemudian tersenyum. Senyuman termanis yang pernah dilihat Seb. “Aku juga senang kau mengenalku. Banyak yang tak mengenaliku dengan dandanan seperti ini.”
            Senyuman Taylor membuat Seb kehilangan kesadaran. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Entah kenapa, suasana jadi canggung. Seb menelan ludah dan memikirkan topik baru untuk dibicarakan. “Jadi, kau tahu tempat menarik di Nashville?” Seb memulai pembicaraan lagi.
            “Ya. Banyak sekali. Danau, museum, atau gedung bersejarah? Kau mau ke mana?”
            “Entahlah. Kau bisa menceritakan padaku? Apa kau sibuk?”
            “Tidak. Aku sedang libur dari kegiatanku selama beberapa hari.”
            “Benarkah?” tanya Seb memastikan. Ia melihat jam tangannya, jam setengah enam lebih. “Aku ingin mendengar semuanya, sungguh. Tapi itu juga kalau kau tidak keberatan.”
            “Tentu saja aku tidak keberatan. Bagaimana denganmu?” jawab Taylor. Jawaban yang sangat indah di telinga Seb.
            Tak bisa menyembunyikan ekspresi senangnya, Seb tersenyum lebar. "Aku punya waktu 2 hari untuk berlibur, dan kurasa akan menjadi liburan yang sangat menyenangkan."


...to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar