Sabtu, 27 Oktober 2012

Fanfiction : THE STORY OF US #3

Cast :

Sebastien Lefebvre



Taylor Swift



Brendon Urie



David Desrosiers, Chuck Comeau, Stuey.



_that’s him. Someone from our past_

Jam tangan Seb menunjukkan pukul 21.45 waktu setempat, 15 menit sebelum bertemu dengan Taylor. Tapi Seb sudah dalam perjalanan menuju Radnor Lake State Park, tempat yang sudah mereka tentukan untuk bertemu. Radnor Lake State Park, tempat umum yang benar – benar terbuka. Memang bukan tempat bertemu yang ideal jika ingin menghindar dari paparazzi. Tapi Seb berpikir, akan lebih mencurigakan jika Tay dan Seb bertemu di tempat tertutup. Mereka hanya ingin mengobrol, bukankah taman akan menjadi tempat yang sangat bagus?
 Seb memperhatikan anjing pitbull kecil disampingnya yang berlari dengan semangat. Tentu saja, Stuey sangat menikmati saat berjalan – jalan. “Stuey, kenapa kau semangat sekali?” tanya Seb pada Stuey yang hanya menyalak sekali dan mempercepat larinya. “Pelan – pelan, buddy. Bukankah aku yang seharusnya bersemangat? Oh yeah, aku memang bersemangat,” lanjutnya sambil mengejar anjing itu.
Ini pertama kalinya Seb keluar untuk menemui seseorang dengan perasaan was – was. Alasannya satu, paparazzi. Ya, katakanlah Seb tak biasa menjadi incaran paparazzi. Selama ini yang lebih sering menjadi incaran di bandnya adalah sang vokalis, Pierre. Bukan berarti Seb tidak terkenal, namun selama ini ia hanya berurusan dengan wartawan, bukan paparazzi.
Radnor Lake mulai terlihat. Mata birunya menyusuri danau, kemudian ia menangkap sesosok yang dikenalnya. Gadis dengan rambut pirang dikepang menyamping, mengenakan summer dress merah dipadu dengan cardigan hitam. Gadis itu tampak sibuk bermain sendiri, melompat – lompat bagai anak kecil. Kata pertama yang muncul di kepala Seb adalah... Tidak ada. Seb kehilangan akalnya selama beberapa detik ketika melihat sosok ini.
“Taylor, maafkan aku terlambat,” ucap Seb sambil terengah – engah karena berlari.
Gadis itu menoleh. “Hai, Seb. Terlambat? Kau bicara apa? Kau datang 10 menit lebih awal,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Apa kau Stuey?” tanyanya sambil memandangi anjing yang duduk manis disebelah kaki Seb. Taylor segera membelai lembut Stuey. Anjing itu tentu saja menyambut belaian Tay dengan gembira dan menggoyangkan ekornya karena senang. “Dia lucu sekali,” lanjutnya.
“Biasanya dia tidak begini. Stuey akan menyalak jika bertemu orang baru. Kurasa Stuey menyukaimu,” jelas Seb. “Mm, apa kau sudah lama menunggu?”
“Tidak. Aku baru datang. Aku suka sekali taman ini, jadi aku datang lebih awal. Apalagi danaunya di malam hari,” jawab Taylor. Seb bisa melihat dengan jelas mata berbinar Taylor saat melihat danau. Dan Seb mengerti betul kenapa Taylor menyukai danau di malam hari. Pantulan bulan dan lampu – lampu disekitar membuatnya menjadi sangat indah.
Seb mengangguk – angguk menikmati keindahan danau. “Ya, memang sangat indah,” kata Seb pelan, lebih pada dirinya sendiri.
“Jadi, bagaimana perjalananmu di Nashville? Tempat apa saja yang sudah kau kunjungi?” Taylor membiarkan Stuey berlarian disekitarnya dan kemudian duduk di bangku taman.
Seb mengikuti Taylor dan duduk disebelahnya. “Lane Motor Museum, RCA Studio B, dan The Hermitage. David senang sekali mengunjungi Lane Motor Museum. Dia bilang ia melihat mobil pertama kakeknya disana.” Taylor tertawa. “Dan Chuck, ia tak bisa menutup mulutnya saat mengunjungi The Hermitage.”
“Teman – temanmu lucu sekali,” komentar Taylor.
“Ya, kau harus menemui mereka nanti. Bahkan mereka mengerjaiku soal foto... Oh, maksudku... Tidak, lupakan,” Seb buru – buru memperbaiki perkataannya. Ia tak bermaksud untuk membahas foto mereka yang beredar. Seb takut Taylor sedang tidak ingin membicarakan hal ini.
“Mereka tahu soal foto kita? Apa komentar mereka?” tanya Taylor. Taylor tampak santai membicarakan ini.
“Awalnya mereka mengira ini sungguhan. Kau dan aku. Ya, kau tahu, berpacaran. Mereka menanyaiku apa yang sebenarnya terjadi. Kukira mereka semua marah padaku, tapi ternyata tidak. Aku jarang sekali dekat dengan seorang wanita, maksudku teman. Jadi, mereka curiga saat foto itu beredar. Bukan berarti aku tidak pernah punya pacar, maksudku bukan kau pacarku. Oh, astaga sebaiknya aku diam...” Seb memukul dahinya dengan telapak tangannya karena bicara bodoh dan Taylor tak bisa menahan tawanya.
“Kau tahu, teman – temanku juga menginterogasiku soal hal ini. Mereka memberiku selamat lalu menanyakan sejak kapan aku berpacaran denganmu. Bahkan orang tuaku langsung mencari datamu di internet,” ceritanya sambil tertawa kecil. “Maafkan aku, Seb.”
“Hei, sudah kubilang ini bukan salahmu. Bukan salah siapa – siapa.” Seb memberikan isyarat pada Stuey agar tidak bermain jauh – jauh. “Aku memang tak pernah berurusan dengan paparazzi. Tapi, aku menyadari, entertainer tak akan lepas dari hal semacam ini. Jadi yeah... Tak apa.”
Taylor mengangguk. “Dulu, seseorang yang baru kukenal. Seperti kau. Kami mengobrol dan paparazzi mengambil foto kami. Keesokan harinya, ia tak mau bertemu denganku. Sama sekali sampai sekarang,” gadis itu mengangkat Stuey yang duduk di dekat kakinya dan mendudukan Stuey diantaranya dan Seb. “Kukira kau akan menjauh dariku,” lanjutnya pelan.
Sebastien buru – buru menggeleng. “Itu hal terbodoh yang pernah kudengar.”
Taylor tersenyum lega. Ia tak ingin kehilangan teman lagi hanya karena dirinya selalu menjadi incaran awak media. “Kau mau berjalan kesana?” Taylor menunjuk jalan setapak.
“Boleh. Ayo,” Seb bangkit dari duduknya dan Stuey langsung mengikutinya. “Aku tak pernah datang kesini sebelumnya. Mungkin hanya melihat foto Radnor Lake disiang hari. Ternyata pemandang di malam hari lebih indah,” ucap Seb.
“Ya. Tapi kau juga harus kesini di siang hari. Kau tak akan menyesalinya,” saran Taylor.
Diam – diam Seb memperhatikan gadis disebelahnya. Entah kenapa Taylor terlihat begitu sempurna di mata Seb. Pintar, cantik, dewasa, dan kemampuan bernyanyi serta menciptakan lagu sudah tak diragukan lagi. Taylor juga terkenal punya banyak sahabat dari kalangan selebriti. “Taylor, apa yang kau lakukan jika kau bukan penyanyi?”
Taylor terdiam. “Tak pernah ada yang menyanyaiku soal itu sebelumnya... Mungkin, aku akan menjadi guru TK. Mengajar dan menyanyi untuk anak – anak pasti akan menyenangkan. Bagaimana denganmu?”
“Aku? Aku mungkin akan mendirikan TK, kau boleh melamar menjadi guru di sekolahku,” ujar Seb dengan senyuman khasnya, membuat Taylor tertawa lagi dan memukul Seb pelan.
Tak jauh dari Tay dan Seb, sekitar 3 meter didepan mereka, seorang lelaki berjalan. Lelaki itu mengenakan kemeja biru dengan celana jeans. Seb melihatnya sekilas, tampak familiar. Jarak mereka dan lelaki itu kini hanya semeter. Tiba – tiba, lelaki itu terjatuh tersandung kakinya sendiri. Seb spontan membantunya untuk berdiri.
“Kau tak apa?” tanya Seb.
“Yeah, kurasa.”
“Apa aku mengenalmu?” tanya Seb pada lelaki itu. Kepalanya mengatakan bahwa Seb mengenal lelaki itu, tapi sebuah nama tak juga muncul.
Lelaki itu memperhatikan wajah Seb. Ia juga merasa mengenal Seb. Terdiam selama beberapa detik, kemudian lelaki itu tersenyum lebar. “Sebastien Lefebvre? Apa yang kau lakukan disini?” Seb masih diam, menggali ingatannya lebih dalam. “Kau lupa padaku? Aku Brendon. Brendon Urie?”
“Astaga! Brendon! Lihatlah dirimu... Kau berubah sekali!” Seb memeluk lelaki itu. “Dimana kawat gigi dan kacamata besarmu?”
“Aku sudah menanggalkan kawat gigiku, gadis – gadis lebih menyukaiku tanpa kawat gigi,” jawabnya sambil tertawa.
“Ah, Taylor, ini temanku, Brendon. Kami sudah lama sekali tak bertemu,” Seb mengenalkan Brendon pada Taylor.
Taylor yang dari tadi melihat mereka berdua saling bercanda akhirnya maju beberapa langkah dan berjabat tangan dengan Brendon. “Taylor,” ucap Taylor.
Brendon terdiam melihat Taylor, begitu juga Taylor. “Tidak mungkin,” ujar Brendon sambil menunjuk gadis cantik didepannya. “Dulu rambutmu begitu keriting dan mengembang seperti singa, Ally.”
Taylor terkejut mendengar Brendon memanggilnya dengan nama tengahnya. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu. “Brennie?” ucap Taylor pelan.
“Ya. Aku Brennie... Kumohon jangan panggil aku Brennie lagi. Itu sangat tidak keren,” katanya sambil merentangkan tangannya, menunggu pelukan dari Taylor. Ya, kemudian Taylor memeluknya.
“Brennie! Kapan kau kemari? Kau mengenal Seb?” tanya Taylor bingung. Seb juga bingung melihat Taylor dan Brendon yang berpelukan.
“Oke. Jadi rupanya hanya aku yang mengerti apa yang terjadi disini, ya? Lihatlah wajah kalian, lucu sekali. Oh, siapa anjing ini?” Brendon melambaikan tangannya pada Stuey yang menggonggong.
“Dia Stuey, anjingku. Jadi, bisa kau jelaskan pada kami apa yang terjadi? Bagaimana kau mengenal Taylor?” ujar Seb tidak sabar.
“Apa dia pacarmu?” tanya Brendon sambil menunjuk Taylor.
“Bukan,” Seb menggeleng.
“Apa aku pacarmu?” tanya Brendon pada Taylor yang langsung direspon Taylor dengan melotot dan memukul lengannya pelan. “Baiklah, jadi status kita semua disini adalah teman lama. Aku dan Ally, maksudku Taylor, adalah teman masa kecil. Aku ingat aku tinggal disini hingga umur 12 tahun.”
“Aah... Kurasa aku mengerti sekarang,” Seb mengangguk.
“Lalu, aku pindah ke Canada, dan kemudian entah bagaimana ceritanya, aku dan Seb menjadi sahabat baik di SMA. Terima kasih, Seb. Aku tak akan bisa melewati masa SMA ku tanpa dirimu,” lanjut Brendon.
“Ini sangat aneh,” ujar Taylor.
“Ya! Dan kalian tahu apa yang aneh? Kita bertemu disini. Aku, Seb, dan Taylor. Kurasa anggapan orang tentang dunia yang sempit memang betul. Kalian berdua sedang apa disini?” kini Brendon yang bertanya.
“Kami... sedang mengobrol,” jawab Seb singkat.
“Aku tak menyangka Taylor Swift adalah teman masa kecilku. Aku kira Taylor Swift adalah Taylor lain, bukan kau,” kata Brendon pada Taylor. “Dan aku melihat foto kalian di dunia maya. Paparazzi belakangan ini memang hebat sekali ya. Jadi, kalian tidak berpacaran?” Seb dan Taylor menggeleng secara bersamaan. “Aku sangat merindukan kalian. Kalian ada waktu mengobrol denganku?”

..........

Seb membuka matanya yang berat. Ia bisa mendengar David berteriak memanggil namanya. Ia menyipitkan matanya dan melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 08.00. Kemudian ia bangun dari tempat tidurnya dan dengan rambutnya yang masih berantakan, ia membuka pintu kamarnya. “Ada apa? Berisik sekali.”
“Kau baru bangun tidur?” tanya David sambil melipat tangan di depan dadanya. “Kau tahu jam berapa ini?”
Seb mengangguk. “Jam 8 pagi. Aku masih mengantuk sekali,” kata Seb sambil berbalik menuju tempat tidurnya. Membiarkan pintu terbuka.
Chuck dan David masuk ke dalam kamarnya. “Kalau kau tidak siap 15 menit lagi di lobi hotel, kau akan ditinggal,” ancam Chuck.
“Baiklah, tinggalkan aku,” jawab Seb malas. Ia menaikkan selimutnya hingga menutupi kepalanya. Seb merasa sangat malas hari ini. Semalam ia hanya tidur selama 4 jam karena mengobrol dengan Brendon. Taylor hanya bergabung selama 1 jam, setelah itu pulang.
“Terserah kau saja,” ujar David sambil berlalu.
Chuck masih berdiri memperhatikan Seb menggeliat dibalik selimutnya. “Apa kau sudah berbicara pada Taylor?” tanya Chuck.
“Ya. Dia baik – baik saja,” jawabnya singkat.
“Baiklah. Aku pikir kau ada masalah dengannya. Walau kau tidak ikut jalan – jalan, segeralah mandi lalu makan,” kata Chuck.
Seb membuka selimutnya dengan segera. “Chuck, bisa aku bicara padamu sebentar?” sahutnya. Chuck yang tadinya akan keluar, menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Seb. “Aku... Bisakah rasa kagum berubah menjadi... Apa namanya...”
“Suka? Cinta?” tebak Chuck.
Seb mengangkat bahunya. “Mungkin.”
Drummer itu mengangguk mengerti. “Tentu saja bisa. Cinta bisa dialami siapa pun dan kapan pun. Bahkan kau bisa mencintai seseorang tanpa alasan yang jelas. Apa kau...? Lupakan.” Chuck segera keluar dari kamar Seb. Ia tahu benar apa yang sedang dirasakan Seb, namun ia mengurungkan niat untuk menanyakannya pada Seb. Ia merasa Seb belum siap. Seb sendiri hanya terdiam di tempat tidurnya, mengerjapkan matanya dan berusaha mengerti apa yang ia rasakan di hatinya.


..........

“Rumahmu tak banyak berubah,” ujar Brendon sambil melihat ke sekeliling ruang tamu rumah Taylor.
“Ah, kau ingat saat kau memecahkan vas bunga ibuku? Kemudian kau menyimpannya di kamarku. Ibuku marah besar saat melihat pecahan vas bunga itu,” ucap Taylor bernostalgia.
Brendon tersenyum mengingat kejadian itu. “Ya. Kenapa kau masih mengingatnya? Aku jadi merasa bersalah...”
“Sudah seharusnya. Kau harus membelikanku es krim untuk menebus kesalahanmu.”
“Akan kulakukan apapun untuk menebus kesalahanku,” kata Brendon dengan wajah menyesal yang dibuat – buat. “Dimana ayah dan ibumu?”
“Ayahku sedang pergi. Ibuku ada di dapur. Ayo,” Taylor berjalan di depan dan menyuruh Brendon mengikutinya. “Mom, lihat siapa yang datang.”
Ibu Taylor yang sedang memasukkan adonan kue ke dalam oven segera mengelap tangannya dan menyambut Brendon. “Brendon! Tay sudah bercerita bahwa kau datang. Apa kabar?” katanya sambil memeluk Brendon. “Kau tumbuh menjadi tampan sekali, nak.”
Brendon tertawa mendengar perkataan ibu Taylor. “Banyak yang bilang begitu.”
“Aku sedang membuat kue. Aku tak akan bisa membuat kue jika Taylor sedang tidak libur dari kegiatan menyanyinya. Kau harus mencicipinya,” ucap ibu Taylor sambil melihat jam dinding.
“Tentu saja. Kami akan kesini lagi jika kue sudah matang. Ok mom, kami pergi dulu,” Taylor mendorong Brendon keluar dari dapur. Ibu Taylor akan berbicara tentang bagaimana cara memanggang kue yang baik dan Taylor yakin Brendon akan bosan. “Apa kesibukanmu?” tanya Taylor. Mereka pergi ke taman belakang rumah, dimana mereka bermain saat masih kecil.
“Menulis, menulis, dan menulis. Aku seorang penulis novel,” jawab Brendon.
“Benarkah? Aku membaca banyak novel. Kau pasti menggunakan nama pena, karena aku tak menemukan penulis novel dengan nama Brendon Boyd Urie.”
Lelaki manis itu mengangguk. “Aku takut akan terlalu terkenal jika aku menggunakan nama asliku,” sahut Brendon percaya diri. Taylor menunjukkan ekspresi baiklah-kau-memang-sangat-terkenal dan tertawa kecil. “Apa kau punya pengarang favorit?”
“Ya. Ada satu novel yang sangat kusukai. Dari jalan ceritanya, sampai bagaimana si pengarang menyampaikannya. Begitu mendalam, seakan itu adalah pengalamannya sendiri. Jared Raindropp,” Taylor duduk di bawah bayangan pohon besar.
“Aku akan mengenalkannya padamu. Aku kenal dia,” Brendon duduk disebelah Taylor.
“Kau kenal dia? Apa itu memang pengalaman pribadinya?”
“Setidaknya itu yang dia katakan padaku. Hei, bagaimana kau mengenal Seb?”
Taylor menyipitkan matanya saat matahari menyorot matanya dan bergeser sedikit untuk menghindarinya. “Kami bertemu beberapa hari yang lalu di supermarket. Aku menabraknya, atau ia menabrakku. Kemudian kami saling menyadari bahwa aku Taylor dan dia Seb. Begitulah. Sebenarnya ini bukan pertemuan pertama kami. Tapi aku ragu ia mengingatnya,” cerita Taylor.
“Oh,” ucap Brendon. Kemudian Brendon memeluk Taylor yang duduk disebelahnya. “Kau tak tahu betapa aku merindukanmu.”
Taylor balas memeluk Brendon. “Aku juga merindukanmu.”
Brendon melepaskan pelukannya dan merogoh saku jaketnya, kemudian mengeluarkan 2 tiket. “Aku punya 2 tiket konser di Ryman Auditorium. Kau mau ikut bersamaku?”
Taylor tergelak. “Pasti tiket dari Seb.”
“Ayolah. Tiket ini spesial. Kita diperbolehkan untuk kebelakang panggung. Bahkan menonton dari kursi drummer. Seb bilang tiket ini diatas VVIP. Aku lupa apa namanya... Royal VVIP mungkin entahlah. Hanya ada 2 ini. Ayo, kau pasti ingin ikut,” ajak Brendon. “Apa kau tega menolak ajakan kencan ini?”
“Jadi, kau mengajakku kencan, Mr. Urie?”
Brendon mengangguk pasti. “Ayolah. Aku akan melindungimu dari kejaran wartawan atau apapun nanti. Aku akan melindungimu,” kata Brendon berjanji. Taylor terdiam beberapa detik, kemudian mengangguk. “Yes! Taylor Swift menerima ajakan kencanku!” seru Brendon senang.
Taylor melihat teman masa kecilnya heran. Taylor senang bisa bertemu kembali dengan Brendon, begitupun Brendon. Bahkan lebih untuk Brendon. Ia sudah terlalu lama memendam rasa itu. Dan Taylor harus tahu...



...to be continued...


Senin, 08 Oktober 2012

Fanfiction : THE STORY OF US #2

Cast :


Sebastien Lefebvre




Taylor Swift


Pierre Bouvier, David Desrosiers, Jeff Stinco, Chuck Comeau, Stuey.



_it’s not a mistake. It’s  a start_

            “Dude, kau dimana?” tanya Chuck pada Seb di telepon.
            “Aku baik – baik saja. Aku akan segera kembali,” balas Seb yang segera memutus sambungan telepon.
            David memandang Chuck, menunggu Chuck berbicara. “Dimana anak itu?” tanyanya kesal.
            “Dia bilang dia akan segera kembali. Entahlah, dia langsung mematikan sambungan telepon.”
            Jeff mengambil apel di atas meja dan duduk disebelah Chuck. “Tenanglah. Seb sudah dewasa. Dia pasti bisa menjaga dirinya,” ucapnya santai. “Mungkin dia sedang bersenang – senang dengan seorang gadis sekarang ini,” lanjutnya asal.
            “Jika itu benar, ia dalam masalah besar. Karena seharusnya dia mengajakku,” celetuk Pierre yang diikuti tawanya dan Jeff.
            Tak lama kemudian, Seb muncul. Dengan senyumnya yang riang, ia menyapa semua personil dengan gembira. “Hei semua! Hari ini yang cerah, bukan?”
            “Ya. Selain awan yang sedikit mendung, apa yang membuatmu begitu gembira, huh?” tanya David curiga. “Apa yang kau lakukan diluar sana? Kau tak ada dikamarmu pagi ini,” David menggeser duduknya dan memberikan tempat untuk Seb duduk disebelahnya.
            “Apa kau berjalan dalam tidurmu lagi?” tanya Chuck sambil memeriksa jadwal mereka hari ini.
            “Aku baik – baik saja. Aku hanya berjalan – jalan disekitar sini. Kalian tahu, suasana di Nashville sangat menyenangkan dan kita harus segera berjalan – jalan karena banyak sekali tempat wisata yang harus kita kunjungi,” Seb berbicara seakan ia warga setempat.
            Pierre tertawa kecil mendengar perkataan personil termuda itu. “Kau terdengar seperti guide, Seb. Baiklah, apa kita akan terus mengobrol disini sampai matahari terbenam?”
            “Ayo. Aku harus menghirup udara segar dan menyegarkan pikiran sebelum tampil,” ujar Jeff. Ia memakai jaketnya dan memimpin yang lain dengan semangat di depan, walaupun pasti nantinya ia akan bingung dan berkata ‘sebenarnya kita mau kemana?’.
            Di depan hotel sudah ada mobil yang siap untuk menemani perjalanan mereka. Tak ada supir maupun bodyguard. Bagi mereka, liburan adalah liburan. Tak perlu orang lain untuk menemani mereka pergi. Bahkan mereka pernah berjalan – jalan dengan skuter di Barcelona, tentu saja tanpa pengawalan.
            Chuck dengan kemeja putih dan celana pendek krem memegang buku yang berisi beberapa tujuan tempat wisata di Nashville dan memutuskan untuk tidak mau menyetir. Ia segera duduk di kursi depan, sebelah supir dan dengan tidak sabar menyuruh teman – temannya yang lain untuk bergegas. Jeff yang sudah bingung mau kemana begitu keluar hotel, tanpa berkata – kata masuk dalam mobil dan duduk manis di bagian tengah.
            “Kau yang menyetir,” perintah Pierre pada David.
            David menggeleng. “Tidak mau. Aku tak mau menyetir disamping Chuck. Hari ini dia sedang bersemangat, jadi pasti cerewet sekali,” elak David.
            “Aku tidak boleh menyetir. Aku baru saja meminum 2 gelas bir,” balas Pierre tak mau kalah.
            “Kau belum mabuk hanya dengan 2 gelas bir, kita semua tahu itu. Kau baru akan mabuk jika meminum 20 gelas. Jangan banyak alasan,” David mendorong Pierre.
            “Hei, hei, hei, hentikan. Aku yang akan menyetir. Tenanglah kawan – kawan,” kata Seb melerai kedua sahabatnya itu dan kemudian langsung menempati kursi pengemudi. Pierre dan David terdiam beberapa saat melihat tingkah tak biasa Seb dan akhirnya tersadar saat Chuck berteriak pada keduanya.
            “Ada banyak sekali tempat menyenangkan di Nashville. Lane Motor Museum, The Hermitage, Fontanel Mansion, Country Music Hall of Fame and Museum, Opryland Hotel Garden, Cheekwood Botanical Garden & Museum of Art, Radnor Lake State Park... Jadi, kemana kita akan pergi?” kata Seb panjang lebar sambil menjalankan mobil. Yang lain terdiam mendengar perkataan Seb.
Lagi – lagi, mereka melongo untuk beberapa saat karena prilaku Seb yang tidak biasa. Pertama, Seb adalah personil yang tak pernah absen bangun terakhir, apalagi jika ia tidur di atas kasur, dan hari ini Seb sudah tak ada dikamarnya saat akan dibangunkan. Kedua, Seb tak pernah mau menyetir dengan sukarela jika bukan karena dipaksa dan diancam David akan melempar Stuey dari atas gedung. Ketiga, ia tampak seperti sudah sangat mengenal Nashville karena dengan gaya sok tahunya, ia berbicara banyak soal tempat – tempat wisata di Nashville. Sementara Chuck masih bingung membolak – balik buku petunjuk wisatawan Nashville.
“Seb? Bagaimana kau tahu semua itu?” tanya Jeff curiga.
“Aku membaca dan seseorang memberiku saran soal tempat bagus disini. Kenapa? Apa ada yang salah?” balas Sebastien polos.
“Kurasa kau agak aneh hari ini. Kau agak... Berbeda. Iya kan, guys?” ujar Chuck sambil menoleh ke kursi belakang, meminta dukungan dari teman – temannya.
Pierre mengangguk setuju. “Iya. Aku tak pernah melihatmu bangun pagi sebelumnya,” Pierre melihat Seb yang tersenyum lebar melalui pantulan kaca spion dengan pandangan curiga.
“Moodku sedang sangat baik hari ini. Apa ini mengganggu kalian? Kata orang, mood yang baik akan menular pada orang disekitarnya. Apa mood kalian tidak berubah sama sepertiku?” jelas Seb.
“Aku tak mau tertular sepertimu yang tersenyum lebar selama perjalanan, Seb. Mengerikan,” David menyikut Pierre dan menunjukkan tatapan penuh tanya tentang apa yang terjadi pada Seb dan hanya dibalas Pierre dengan mengangkat bahunya.
Seb tertawa. “Baiklah kalau begitu. Kita ke Lane Motor Museum saja. Banyak mobil antik disana,” usul Seb. Chuck menutup buku panduannya dan menyingkirkannya karena sudah ada buku pedoman wisata Nashville berjalan di sebelahnya.
Ya, mood Seb sedang sangat bagus. Pertemuannya dengan Taylor membuatnya berbunga – bunga. Taylor bercerita banyak. Hal – hal yang tak pernah didengar Seb tentang Taylor akhirnya bisa diketahuinya. Gadis ini begitu menyenangkan. Apalagi gadis itu bilang ingin bertemu lagi dengannya sebelum Seb dan kawan – kawan tampil di Ryman Auditorium.
Hari berlalu sangat cepat, terutama bagi Seb. Mereka sudah mengunjuni Lane Motor Museum, RCA Studio B, dan The Hermitage. Seluruh personil tampak sedikit lelah, namun tidak dengan Seb. Masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya, ia mengendarai mobil dengan hati – hati.
Chuck yang sudah lelah mengomentari tingkah aneh Seb akhirnya mengabaikan Seb dan menyibukkan diri dengan twitter. Sedangkan yang lain duduk dengan tenang di kursi tengah mobil sambil tidur ayam. Chuck menegakkan duduknya sambil membaca twitternya dengan serius.
Seb meliriknya. “Serius sekali. Apa follower mu berkurang satu?” canda Seb.
“Bukan itu. Apa ini benar?” mata Chuck belum beralih dari layar Hpnya.
“Apa yang terjadi? Kau membuatku penasaran,” Seb berusaha melihat layar HP Chuck, namun sia – sia. Usahanya hanya membuat matanya sakit karena melotot sambil melirik.
“Sebastien Lefebvre kekasih baru Taylor Swift?” Chuck membacakan headline berita penuh tanya. Seb melotot terkejut mendengar apa yang dibaca Chuck. “Foto ini diambil pagi ini jam 6 di Nashville. Mereka bilang kau dan Taylor terlihat makan berdua di salah satu restoran. Apa ini benar kau?” Chuck melihat foto di layar Hpnya. Di foto itu hanya terlihat profil kanan Seb, tapi tentu saja wajahnya bisa dikenali. “Ya, ini benar kau, Seb.”
“Ap-apa maksudmu? Berita apa itu?” ujar Seb panik.
“Kita bicarakan ini di hotel,” sahut David dari belakang dengan wajah serius.
Seb menghela nafas panjang. Ia tak akan mengira kebetulan tadi malam akan membuat berita seperti ini. Untuk pertama kalinya di hari ini, Seb tak tersenyum. Ia melihat lurus ke depan, tak berani melihat spion karena ia akan bertemu mata serius David dan itu sangat tidak menyenangkan.
“Jadi, kau menghilang pagi buta karena bertemu dengan Taylor Swift? Sejak kapan kau berhubungan dengannya?” tanya Chuck penasaran setelah mereka semua berada dalam kamar.
“Seb dan Taylor Swift? Ada apa ini?” tanya Jeff bingung karena ia tidur sepanjang perjalanan pulang ke hotel. Pierre yang juga tidur saat perjalanan memilih diam dan memperhatikan.
David duduk di tengah sofa panjang dan mengisyaratkan Seb untuk segera bercerita. Entah kenapa pandangan David membuat Seb tidak berani duduk dan malah berdiri di depan mereka semua.
“A-aku tidak tahu hal ini akan terjadi. Aku baru bertemu dengannya pagi ini, sungguh!” pekik Seb.
“Kalian baru bertemu?” David mengamati foto itu dengan seksama. Jeff dan Pierre segera merebut HP David untuk melihat fotonya dan ber-oh secara bersamaan.
“Ya! Percayalah padaku. Kami hanya makan dan mengobrol. Oh astaga, kenapa bisa ada paparazzi di tempat seperti itu?” Seb meremas tangannya. “Oh ayolah, kalian harus percaya padaku. Itu pertama kalinya aku bertemu Taylor Swift.”
David maju menghampiri Seb dan menepuk punggungnya sambil tersenyum lebar. “Hebat Seb! Aku kira kau tak akan mampu berbicara dengan Taylor saat bertemu dengannya.”
Dengan mulut menganga, Seb melihat ke arah David. Personil yang lain malah menyoraki Seb. “Astaga, kawan – kawan. Kukira kalian marah,” ujar Seb lemah.
“Awalnya. Kami mengira kau dan Taylor Swift berpacaran dan kau tak mengatakannya pada kami. Apalagi kau memang sering menghilang sebelum tour ini. Pierre selalu bilang kau sedang berkencan dengan seorang wanita,” jelas David.
“Ups, my bad. Kurasa aku hanya asal bicara saja saat itu,” sahut Pierre sambil tersenyum jahil.
“Guys, sebelum tour aku sedang merenovasi rumah, tentu saja aku sering menghilang dari studio,” ujar Seb lega. “Kalian benar – benar membuatku kaget.” Sebastien menggeleng tidak percaya dan duduk diantara David dan Jeff.
“Lalu, apa saja yang sudah terjadi diantara kalian berdua?” goda Jeff.
“Kami hanya mengobrol,” jawab Seb singkat.
“Benar hanya mengobrol? Begitukah efek mengobrol dengan Taylor? Bisa membuat otakmu bergeser dan tersenyum sepanjang hari,” Chuck ikut menggoda personil termuda itu.
“Haha. Lucu sekali, Chuck. Aku serius. Oke, sekarang aku lapar dan aku mau makan,” Seb bangkit dari duduknya dan keluar dari kamar.
Mereka berlima akhirnya memutuskan untuk makan di restoran hotel. Jeff yang selalu memesan menu yang sama –spaghetti- dimanapun, sekarang pun memesan menu andalannya itu. Pierre memutuskan untuk memakan salad karena celana yang digunakannya sudah cukup sempit. David, masih dengan menu sehatnya. Ia meminta pada chef yang bertugas untuk membuatkan menu sesuai keinginannya dan jus sayur buah kesukaannya. Serta dua personil lainnya yang tak punya kebiasaan aneh dalam selera makan, memakan makan malam mereka dengan tenang.
Tak selang beberapa lama setelah mereka selesai makan, Pierre mengajak sahabat – sahabatnya untuk mengunjungi bar di tengah kota. Tentu saja Pierre tak akan menyia – nyiakan kesempatan untuk bertemu dengan gadis Nashville yang cantik nan seksi. Jeff dan David tentu saja menyambut ide Pierre dengan riang gembira.
“Aku tidak ikut. Aku mau tidur saja,” ujar sang drummer sambil memijat lengannya menandakan bahwa ia lelah.
“Aku juga,” Seb berdiri dan mengekor dibelakang Chuck.
“Baiklah, ayo kita tinggalkan 2 pria membosankan ini,” ejek Jeff bercanda yang ditanggapi Pierre dan David dengan kekehan.
Chuck hanya melengos dan Seb sama sekali tak mendengar perkataan Jeff. Ia sedang berpikir. Ini baru pertemuan pertamanya dengan Taylor Swift, sekedar makan malam, tapi paparazzi sudah berhasil mengambil foto mereka. Memang, Taylor adalah salah satu selebriti yang tak pernah sepi dari kejaran wartawan serta paparazzi. Gerak – geriknya selalu diawasi oleh pengejar berita. Tidak seperti Seb yang merupakan bagian dari sebuah band. Pengejar berita tidak terlalu tertarik dengannya. Dan Seb yang memang tidak terlalu suka kehidupan pribadinya terlalu dipublikasikan sangat mensyukuri keadaan ini.
Melihat ke belakang, hampir seluruh kehidupan Taylor Swift terekspos media. Beberapa lelaki yang menjadi pacarnya akhirnya ikut – ikutan menjadi kejaran para awak media. Bukan maksud Seb terlalu percaya diri bahwa ia akan menjadi kekasih Taylor Swift, tapi siapa sih yang tidak mau jadi kekasih The Flawless Queen? Seb hanya memikirkan beberapa kemungkinan jika nantinya ia menjadi kekasih Taylor. Itulah bagian yang tidak menyenangkan. Fakta bahwa kekasih Taylor Swift akan menjadi incaran media.
“Kau tidak akan melakukannya,” ujar Chuck membuyarkan lamunan Seb. “Kau tidak akan ikut masuk ke kamar ku, kan?” lanjutnya. Seb tersadar, daritadi ia mengikuti Chuck dan sekarang ia sudah ada di depan kamar Chuck.
“Oh astaga, tentu saja Chuck. Maafkan aku, aku sedang berpikir,” Seb menggaruk kepalanya dan membuat rambutnya sedikit berantakan.
“Soal foto itu? Tampaknya kau mulai menjadi incaran media. Bicarakan hal ini dengan Swift,” saran Chuck sambil membuka pintu kamarnya.
“Apa yang harus kubicarakan soal foto itu? Dia bahkan tak tahu soal ini.”
Chuck terdiam sejenak. “Entahlah. Kau bisa katakan padanya bahwa kau mencintainya,” ucap Chuck asal dan kemudian langsung menutup pintu kamarnya. Meninggalkan Seb yang tertawa kecil karena ucapan randomnya.
“Oh Stuey, apa yang harus kulakukan? Lihatlah dirimu, badanmu makin gemuk. Kerjamu pasti hanya makan dan tidur seharian ini,” Seb membelai sayang anjingnya yang baru datang siang ini dari dokter hewan. “Kau mau jalan – jalan bersamaku? Mungkin kau akan masuk berita juga,” lanjut Seb sambil tertawa.
Seb membuka Hpnya dan kembali menelusuri internet. Taylor tampaknya memang dikelilingi paparazzi. Bahkan siang ini saat ia berbelanja di pusat perbelanjaan pun ada yang mengambil fotonya. Di foto itu Taylor yang mengenakan t-shirt putih lengan panjang dan rok hitam tampak asik mendorong troli. “Apa aku harus menelponnya? Stuey, bagaimana pendapatmu? Dia tidak berkomentar apa – apa soal foto itu,”Seb meminta pendapat pada anjingnya. Namun Stuey hanya menjulurkan lidahnya dan bermain sendiri. “Menurutmu begitu? Baiklah, aku akan menelponnya.”
Sebelum Seb berhasil menemukan nomer Swift di kontak Hpnya, tiba – tiba Hpnya berdering. Taylor Swift calling. Dengan sedikit kelabakan, Seb mengangkat telponnya. “Ha-halo?”
“Seb?” suara Taylor terdengar jelas.
“Ya. Hai... Apa kabar?” tanya Seb. Seb memukul kepalanya sendiri karena mengajukan pertanyaan bodoh.
Taylor terdiam beberapa detik. “Hai. Aku baik – baik saja. Begini, aku ingin minta maaf. Ada foto kita saat makan malam kemarin. Aku tak tahu ada paparazzi. Harusnya aku dengarkan Grant untuk selalu mengajak bodyguardku, tapi aku ingin keluar sendiri malam itu. Aku-“
Seb memotong kata – kata Taylor. “Tay, sudahlah. Ini bukan salahmu. Tak apa,” ujar Seb lega Taylor baik – baik saja. “Kau pasti merasa tidak nyaman dengan pemberitaan itu.”
“Tidak, tidak. Apa kau merasa tidak nyaman? Apa seseorang salah paham karena pemberitaan ini?” tanya Taylor agak khawatir.
“Kalau maksudmu, ada seseorang yang marah padaku karena kau dikabarkan berpacaran denganku, tidak. Tidak ada. Kau?”
“Ten-tentu saja tidak,” jawab Taylor singkat dan kemudian suasana jadi agak canggung.
“Mm, Taylor, apa kau ingin bertemu Stuey? Anjingku yang aku ceritakan itu,” Seb segera mencari pembicaraan baru.
“Stuey? Tentu saja aku mau,” jawab Taylor dengan segera. “Dia sudah kembali?”
“Ya, pagi ini dia kembali dari dokter hewan. Oh, Stuey sedang melihatmu di TV sekarang. Dia bilang ia ingin bertemu denganmu juga. Kau dengar apa katanya? Stuey bilang kau sangat cantik.” Stuey memang sedang melihat video musik Taylor dan ia diam memperhatikan TV itu.
Taylor tertawa dan membuat Seb tersenyum lebar mendengar tawanya. “Sekarang?”
Seb bangkit dari tempat duduknya. “Kalau kau tak keberatan. Aku ingin bertemu... Maksudku, Stuey ingin bertemu denganmu.”
Tak ada jawaban dari Taylor. Seb menggigit bibir bawahnya. “Baiklah. Dimana?” kata Taylor akhirnya.
Seb hampir saja berteriak kegirangan, ia hanya melompat dan membuat Stuey terlonjak kaget. Pria bermata biru ini sadar bahwa ini baru permulaan, masih bagian awal dari cerita mereka.


...to be continued...