Sebastien Lefebvre
Taylor Swift
Pierre Bouvier, David Desrosiers, Jeff Stinco, Chuck Comeau, Stuey.
_First Meeting? Sweet_
Sebastien menghela nafas panjang di tempat duduknya.
Matanya memperhatikan pepohonan di luar yang seakan berjalan mundur. Ia mulai mengeluarkan
iPhonenya dari saku celana dan memainkannya. Hanya
bertahan 5 menit, ia memasukkan iPhonenya kembali ke tempat asalnya. “Kemana
kita akan pergi?” tanya Seb yang sudah sangat bosan dengan perjalanannya.
“Tennessee.
Kau sudah bertanya tadi,” ujar Chuck sembari menjawab pertanyaan – pertanyaan
fans di twitternya.
“Aku lupa,”
sahut Sebastien malas. “Kalian tahu, menurut perhitunganku, kita sudah tampil
sebanyak 45 kali di tour ini.” Sebastien sudah melakukan semua hal yang bisa
membuat bosannya hilang, termasuk menghitung penampilan mereka di tour album
baru mereka ini.
Jeff
tertawa. “Kau menghitungnya?”
“Ya.
Astaga, aku bosan,” ucap Seb yang kemudian berdiri dan mondar – mandir di dalam
bis. Berjalan ke dapur, ke ruang tengah dimana mereka berkumpul, mondar – mandir di depan
bunks Pierre dan mencoba membangunkan Pierre dengan bernyanyi keras – keras namun
sia – sia, bahkan menggoda Stuey yang sedang tertidur pulas di bawah meja.
“Kemarilah,
pijat kakiku. Aku rasa aku terlalu tinggi melompat saat konser kemarin,”
perintah David yang kesal melihat personil termuda itu mondar – mandir tak
karuan. Seb hanya mengangkat alisnya dan memberikan David pandangan
kau-pikir-aku-siapa.
Akhirnya
Seb menyerah dan kembali ke tempatnya. “Baiklah, aku akan duduk disini sampai
kita sampai di... Entahlah.”
“Tennessee,
Nashville,” ulang Chuck yang masih berkutat dengan twitternya. "Aku sudah mengatakannya 5 kali hari ini, untuk sekedar kalian tahu."
“Nashville?
Bukankah Taylor Swift dari Nashville? Hey, Seb, jika kau beruntung mungkin kau
bisa bertemu dengannya,” celetuk Jeff yang baru sadar bahwa tujuan mereka
selanjutnya adalah Nashville. “Kau suka padanya, kan?”
“Kita
akan tampil di Nashville? Kau tidak memberitahuku kita akan tampil di
Nashville, Chuck,” Seb terlihat sedikit terkejut. Kemudian tersadar akan
perkataan Jeff, “Bukan seperti itu Jeff, aku hanya kagum padanya,” koreksi Seb.
Mood Seb berubah. Ia tersenyum sendiri membayangkan Taylor. “Tidak mungkin,
Taylor pasti sibuk,” ujar Seb pada dirinya sendiri. Menghilangkan imajinasinya
bertemu gadis cantik berambut keriting pirang itu. “Bahkan aku juga tak tahu
harus berkata apa jika bertemu dengannya,” gumamnya lagi.
David
yang menangkap Seb sedang berbicara sendiri tertawa kecil. “Katakan saja kau
suka padanya. Apa bedanya kagum dengan suka?” ledeknya.
Seb mengangguk.
Namun ia tidak menangkap maksud David. Celetukan David masuk telinga kanan dan
langsung keluar dari telinga kirinya. Pikirannya terbang membayangkan jika
Taylor benar – benar di depannya, apa yang akan ia katakan? Walaupun Seb sudah
membuat kalkulasinya sendiri, hanya 20% kemungkinannya ia bisa bertemu gadis
cantik itu di Nashville.
..........
“Oh
astaga! Kau tidak tahu betapa lelahnya aku,” Pierre meregangkan tubuhnya dan membantingnya ke tempat tidur.
“Kau
tidur sepanjang perjalanan. Apa yang membuatmu lelah? Dasar pemalas,” ujar
David seraya memukulkan bantal ke kepala Pierre.
Kedua
sahabat itu kemudian saling berbicara dengan kata – kata kotor. Seb melihat
mereka sekilas dan bersyukur bukan Chuck yang sedang mengejek Pierre. Adu fisik
sering terjadi diantara Chuck dan Pierre, walaupun itu hanya bercanda. Mereka
akan saling menampar dan untungnya, berakhir dengan pelukan.
Seb
membuka tirai kamarnya dan terpukau dengan keindahan kota ini dimalam hari.
Nashville terlihat indah karena bermandikan cahaya lampu kota dari
ketinggian—entahlah, mungkin lantai 12—kamar hotel Seb.
“Boys, kalian
punya waktu 2 hari untuk berlibur sebelum tampil di Ryman Auditorium. Sekarang
istirahatlah,” ujar sang manager. Chuck tersenyum lega. Ia masih punya beberapa
hari memulihkan tenaganya. Drummer memang selalu menjadi yang paling lelah
setelah konser.
“Well,
kalian semua keluar. Ini kamarku,” Seb menarik paksa Pierre dari tempat
tidurnya. Keadaan sudah berubah, kini masing – masing personil bisa memiliki
kamar hotel mereka sendiri. Agak berbeda dari 10 tahun lalu memang, saat debut
album baru mereka.
“Kau
tidak mau tidur denganku, Sebie?” goda Pierre. Jeff, Chuck, dan David yang
memang sudah lelah langsung berhamburan keluar dari kamar Seb. Sedangkan Pierre
masih duduk – duduk di ranjang sambil tersenyum jahil.
Tanpa
berkata – kata, Seb memberikan vokalis itu pandangan i-will-kick-your-ass dan
benar saja, Pierre langsung berdiri dan pergi sambil menutup pintu.
“Baiklah
Seb!” serunya pada diri sendiri. Ia membuka sepatunya dan langsung berbaring di
ranjang. Ranjang dan bantal yang empuk, serta selimut yang lembut...
Mengantarkannya ke alam mimpi dengan cepat...
Seb
terbangun. Ia mengerjapkan matanya, membiasakan cahaya yang menembus matanya.
Tangannya mencari – cari jam tangan di bawah bantal. Jam berapa ini? Jam 03.00?! Kenapa aku terbangun di waktu seperti ini? Seb jadi teringat tentang hal yang menyebutkan bahwa jika kau terbangun di sekitar jam 2 - 3 pagi, 80% karena ada yang memperhatikanmu tidur. Bullshit, aku adalah 20% nya, pikirnya untuk menjauhkan pikiran negatif.
Lelaki bermata
biru itu mengacak – acak rambutnya dan berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia
berdiri lama menghadap cermin di wastafel, kemudian melakukan ritual mandi. Ini pertama kalinya Seb bangun dini hari dan dengan kesadaran diri,
mandi. Dengan handuk melingkar di pinggangnya, ia mengeluarkan underwearnya dan
kaos putih kesayangannya serta celana panjang jeans. “Aku lapar,” katanya pada
diri sendiri.
Sebagai
seorang pemain band terkenal, Sebastien bisa dengan mudah memesan makanan
apapun yang ia suka. Namun, kali ini ide gila muncul di benaknya. Ia akan
berpetualang menjelajah kota Nashville—lebih tepatnya hanya di sekitar hotel— sendirian.
Seb mengambil jaket hodienya dan mengenakan tudungnya. Keluar diam – diam dari
kamarnya, melewati bodyguardnya yang gendut, Ben, sambil menunduk
menyembunyikan wajahnya serta berjalan dengan tenang menuju lift. Berhasil.
“Aku ninja. Aku sudah tahu hal ini sejak dulu,” ujarnya bangga setelah pintu
lift menutup.
“Kanan?
Kiri?” Seb menoleh ke kanan dan kiri setelah keluar dari hotel dengan aman.
Akhirnya ia memutuskan untuk ke kanan. Sepi. Hanya ada satu atau dua mobil yang
melintas. Sebastien menarik nafas panjang dan membentangkan kedua tangannya.
Udaranya begitu segar. Belakangan ini ia tak bisa berjalan – jalan santai
seperti ini karena ia harus menghabiskan harinya di dalam tour bus. “Pasti
Stuey senang sekali berjalan – jalan bersamaku seperti ini. Oh, aku merindukan
anjing itu,” gumamnya. Sesaat setelah mereka sampai di Tennessee, Stuey dibawa
ke rumah sakit hewan setempat untuk vaksinasi rutin. Mereka baru berpisah selama 10 jam
dan baru akan dipertemukan 6 jam lagi.
Semua
toko masih tutup. Tentu saja, ini masih dini hari. Seb menemukan toko aneh—yang
pasti akan ia datangi saat buka—, seperti magic stuff store. Di etalase ada
beberapa buku mantra yang aneh dan benda menjijikkan—Seb tak yakin, tapi tampak
seperti jari— yang ditaruh di dalam toples berisi air. Ia menyerengit dan
melanjutkan perjalanannya lagi.
“Akhirnya,
ada toko yang buka,” teriaknya senang saat melihat supermarket 24 jam
diseberang jalan. Seb membaca papan yang menunjukkan nama jalan disebelah
supermarket dan sedikit terkejut karena ternyata ia sudah berjalan 10 blok.
Bel
berbunyi saat Seb membuka pintu supermarket. Lelaki paruh baya yang menjaga
kasir terlihat bosan, membolak balik majalah playboynya sambil memindah channel
televisi. Masih dengan tudungnya, Seb mengambil troli dan berjalan lambat
menyusuri tiap rak disana. Ia tak yakin akan membeli banyak, namun perutnya
yang lapar tampaknya bisa memaksanya membeli seluruh makanan disini.
Rak
makanan. Mulut Seb menganga lebar saat melihat snack kesukaannya berjajar rapi.
Tanpa pikir panjang, ia mengambil beberapa bungkus. 1, 2, 3, 4, 5, dan lagi... 10? Kurasa sudah cukup banyak. Jika Jeff tahu,
ia akan menghabiskan semua ini. Jika David tahu, aku akan dimarahinya jika
membeli sebanyak ini. Sudahlah, aku ambil 6 bungkus saja... Seb berbalik
untuk mengembalikan beberapa bungkus snack ke raknya, tanpa tahu ada seseorang
yang berdiri dibelakangnya. Ya, Seb menabraknya.
“Aw...!”
teriak gadis itu. Ia jatuh terduduk.
“Astaga,
maafkan aku. Aku tak tahu ada orang dibelakangku,” Seb buru - buru
mengembalikan belanjaan gadis itu yang tumpah dari keranjang. Kemudian membantu
gadis itu berdiri. “Kau tidak apa – apa?” tanya Seb sambil mengulurkan
tangannya. “Kau? Tidak mungkin,” gumam Seb saat gadis itu mendongak.
Gadis
berambut keriting pirang, dengan kacamata besar ‘geek’ nya, meraih tangan Seb
dan berdiri. Menepuk bagian pantat celana pendek jeansnya dan membetulkan kemeja putih kebesarannya. “Ya,
aku tidak apa – apa,” katanya. Ia terdiam menatap mata biru Seb dan melotot
terkejut. Keduanya saling memberikan tatapan heran dan menunjuk satu sama lain
selama sekitar 5 detik.
“Ssstt...”
keduanya spontan mengisyaratkan agar tidak ribut, yang malah diakhiri dengan
tawa mereka berdua.
“Taylor
Swift?” tanya Seb setelah berhenti tertawa. Ia menurunkan tudung jaketnya.
Gadis
itu masih sedikit tertawa dan berhenti segera setelah penjaga kasir melihat apa
yang terjadi karena mendengar tawa mereka. “Ya. Dan kau... Sebastien Lefeb...
Bagaimana mengejanya?”
“Lefebvre.
Panggil saja aku Seb.”
“Lefebvre.
Seb, oke. Maafkan aku,” ujarnya sambil tersenyum.
“Tak
apa. Apa yang kau lakukan disini?” tanya Seb, yang langsung tersadar bahwa itu
pertanyaan bodoh.
“Well, berbelanja.
Dan supermarket ini letaknya tak jauh dari rumahku, jadi... Hei, harusnya aku
yang bertanya, apa yang kau lakukan disini? Ini jam 4 pagi. Kau tidak sedang
kabur, kan?”
Seb
hampir saja memasang tampang wajah tolol karena begitu senang bertemu Taylor
Swift. Ia jadi sangat bersyukur saat ingat sudah mandi dan berganti baju. “Ka...kabur?
Tidak. A...aku ada konser disini,” jawabnya tergagap setelah sadar dari
lamunannya. “Aku hanya ingin berjalan – jalan. Sudah lama sekali tidak bisa
kulakukan,” lanjutnya.
“Dan
membeli snack? Banyak sekali,” Taylor melihat isi troli Seb.
Seb
mengangguk. “Ini pesanan Jeff. Dia memang agak gila, bisa menghabiskan semuanya
sendirian,” katanya berbohong. “Kau tahu, aku sedikit lapar. Apa ada kedai
makanan yang buka disekitar sini?” tanya Seb sambil memegangi perutnya.
Taylor
mengangguk. Dengan senyum lebar, Seb mempersilahkan Taylor untuk jalan duluan.
“Kau tidak jadi membeli pesanan Jeff?” tanya gadis itu, menoleh ke belakang,
menunjuk troli.
“Tidak
jadi. Dia bisa membelinya sendiri,” jelas Seb. “Ah, aku akan membeli sesuatu.”
Seb berlari kecil menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral dingin.
Kemudian mereka berdua membayar belanjaan mereka dan keluar dari supermarket.
“Apa kau
kesini sendirian?” tanya Taylor.
Seb
membukakan pintu supermarket untuk Taylor dan kemudian berjalan disampingnya.
“Ya. Kenapa?”
“Kau
pernah ke Nashville sebelumnya?” tanya Taylor lagi, makin penasaran.
“Belum,”
jawabnya santai.
Gadis
itu menggeleng tidak percaya. “Jam 4 pagi, berkeliaran di kota yang belum
pernah kau datangi. Kau gila?”
Seb
tertawa. “Banyak yang bilang begitu. Hei, aku bisa naik taksi. Lagipula, aku
ini lelaki. Apa yang harus kutakutkan?”
“Oke...
Benar juga, Seb. Ah, ini dia, kita sampai. Benar – benar dekat dari supermarket
tadi, kan? Restoran italia,” Taylor berhenti di depan restoran sederhana
yang romantis menurut Seb. Lampu – lampu kecil yang tampak seperti hamparan
bintang menghiasinya. “Memang kecil, tapi makanannya enak sekali. Bisa
dibilang, ini langgananku,” lanjutnya.
“Benarkah?”
tanya Seb ragu. Ia sedang berakting. Ini salah satu taktiknya agar Taylor mau
menemaninya makan dan ngobrol lebih banyak. Seb punya sejuta pertanyaan untuk
Taylor.
Taylor
menyipitkan matanya. “Kau tak ingin aku pergi, ya?” ujar Taylor, membuat Seb
terkejut. Kemudian Taylor tertawa dan memukul pundak Seb pelan. “Aku bercanda,
Seb. Baiklah, aku akan menemanimu. Aku, sebagai warga Nashville yang baik akan
melayani turis untuk menikmati kota kami. Silahkan, tuan,” gadis itu tersenyum
lebar dan mempersilahkan Seb untuk memasuki restoran duluan.
“Aku
sangat tersanjung. Jadi, nona, tempat mana yang kau rekomendasikan agar aku
bisa menikmati makanku?”
Taylor
menunjuk tempat di sudut, disamping jendela yang dialiri air dan tampak seperti
hujan. “Itu tempat rahasiaku. Tapi spesial untukmu, aku bocorkan rahasia ini,
tuan.”
“Terima
kasih, nona. Kau sangat baik,” ucap Seb sambil mengacungkan jempolnya dan
diikuti tawa mereka berdua.
Ini hari
keberuntungan bagi Seb. Baru tadi siang dia berkhayal bisa bertemu dengan
Taylor Swift, sekarang Taylor Swift ada di depannya. Dengan ramahnya
menawarinya menu – menu di restoran itu. Hampir saja Seb menampar mukanya
sendiri untuk memastikan ini bukan mimpi kalau saja pelayan restoran itu tidak
menginjak kakinya.
Keberuntungan
lain, tidak seperti yang Seb pikirkan bahwa ia tak akan bisa bicara saat
bertemu Taylor. Ya, Seb dengan lancarnya melontarkan joke serta cerita lucu dan
membuat Taylor tertawa. Wajah gadis cantik itu sampai – sampai berubah menjadi
merah karena cerita Seb.
“Hentikan
itu, Seb. Kau membuat perutku sakit,” Taylor berhenti tertawa dan memegangi
perutnya.
“Baiklah...
Wow, pas sekali. Makanannya datang.” Pelayan berseragam itu meletakkan pesanan
mereka berdua dan mempersilahkan mereka untuk makan. “Baiklah, bon appetite!” seru Seb semangat.
“Bagaimana?
Enak, kan? Aku tidak berbohong padamu,” Taylor menunggu reaksi Seb. Seb tak
mengatakan apa – apa, hanya mengacungkan kedua jempolnya. “Kalau kau mau kesini
lagi, restoran ini buka dari jam 9 malam sampai jam 9 pagi. Agak aneh memang,
tapi itulah daya tariknya.”
“Aku
pasti kesini lagi,” ucap Seb dengan mulut penuh. Tak bisa dipungkiri, Seb sudah
menyukai restoran ini sejak melihatnya dari luar. Temanya sederhana dan
suasananya menyenangkan. Tak begitu banyak orang yang ada di sana saat itu,
tapi tampaknya restoran ini tak pernah sepi. “Hei, Taylor, aku boleh menanyakan
sesuatu? Kenapa kau mengenaliku tadi di supermarket?”
Taylor
menelan makanan di mulutnya. “Kau gitaris band terkenal. Siapa yang tak
mengenalmu?”
“Kasir
di supermarket tadi?” jawab Seb asal.
Taylor
tertawa kecil. “Mr. Beck memang agak rabun, sudah sejak aku berumur 15 tahun.”
“Bukan
apa – apa. Tapi, kita tak pernah bertemu secara langsung. Aku hanya kaget, kau
bisa mengenalku. Aku senang kau mengenaliku,” ucap Seb.
Taylor
terdiam untuk beberapa saat, kemudian tersenyum. Senyuman termanis yang pernah
dilihat Seb. “Aku juga senang kau mengenalku. Banyak yang tak mengenaliku
dengan dandanan seperti ini.”
Senyuman
Taylor membuat Seb kehilangan kesadaran. Ia tak tahu harus mengatakan apa.
Entah kenapa, suasana jadi canggung. Seb menelan ludah dan memikirkan topik
baru untuk dibicarakan. “Jadi, kau tahu tempat menarik di Nashville?” Seb
memulai pembicaraan lagi.
“Ya.
Banyak sekali. Danau, museum, atau gedung bersejarah? Kau mau ke mana?”
“Entahlah.
Kau bisa menceritakan padaku? Apa kau sibuk?”
“Tidak.
Aku sedang libur dari kegiatanku selama beberapa hari.”
“Benarkah?” tanya Seb memastikan. Ia melihat jam tangannya, jam setengah enam lebih. “Aku
ingin mendengar semuanya, sungguh. Tapi itu juga kalau kau tidak keberatan.”
“Tentu
saja aku tidak keberatan. Bagaimana denganmu?” jawab Taylor. Jawaban yang sangat indah di telinga Seb.
Tak bisa menyembunyikan ekspresi senangnya, Seb tersenyum lebar. "Aku punya waktu 2 hari untuk berlibur, dan kurasa akan menjadi liburan yang sangat menyenangkan."
...to be continued...